Setengah berlari, Rojak mengayuh
motornya lebih cepat. Sosok ayu yang ditunggunya baru saja muncul di ujung
gang.
“Neng,
Abang antar?”
Eneng
menoleh. Jilbab merah muda yang dikenakannya hari ini, membuatnya kelihatan cantik sekaligus soleha. Persis seperti sosok
istri idaman Rojak.
“Pagi,
Bang Rojak,” sapa Eneng dengan senyum khasnya, yang membuat Rojak tidak bisa
tidur semalaman.
“Pagi,
Eneng. Mau ke tempat kebaya, ya?”
“Iya,
Bang. Sudah ditunggu sama Bu Mursid.”
“Yuk,
Abang antar ya,” Rojak naik ke atas motornya.
“Abang,
ndak bawa helm?”
“Nggak
apa-apa Neng, kan dekat ini ke pengkolan depan.”
Eneng
tampak bimbang sejenak. “Duh, gimana ya, Bang... Iya sih, ndak jauh. Tapi kan...”
“Nggak
apa-apa, Neng. Kalau ada polisi, kan ada Abang...” Rojak menepuk dadanya yang
dibusungkan.
Eneng
menarik napas, lalu melihat jam tangannya. Bukan hanya masalah helm dan polisi,
tapi....
“Iya
deh, Bang,” Eneng memutuskan dengan berat hati. “Tapi pelan-pelan aja, ya.”
Rojak
mengangguk girang. Sinar matahari nampak berwarna merah muda di matanya. Sudah
bukan rahasia lagi. Rojak, putra sulung Emak, pemilik warung kelontong yang
sudah tahunan tinggal di daerah Jembatan Empat, menaruh hati pada Eneng, putri
tunggal Pak Lurah. Rojak adalah orang kepercayaan Pak Rojali, pemilik bengkel
besar di daerah itu. Keahlian Rojak mengutak-atik mesin mobil dan motor, membuat
karirnya menanjak cepat.
Sedangkan Eneng,
lulusan sekolah menjahit, bekerja di Rumah Kebaya Soleha milik Bu Mursid. Eneng
yang manis, kalem tutur kata maupun parasnya, memang pantas jadi istri idaman
banyak pria. Kabarnya, Pak Lurah kerap kerepotan menerima hadiah dari
tetangga-tetangganya, yang sudah antri ingin memperistri atau mengambil mantu
si Eneng. Selain Rojak, ada beberapa pemuda lagi yang ketahuan mendekati Eneng.
Sementara
si Enengnya sendiri? Masih adem ayem.
“Umur
Eneng masih muda, Abah. Eneng masih mau sekolah. Masih mau beribadah. Masih
banyak cita-cita Eneng yang ingin Eneng lakukan untuk Allah,” begitu selalu
kata Eneng, kalau ditanya Pak Lurah.
“Menikah
itu juga ibadah, Eneng,” kata Bu Lurah, setengah takut kalau anaknya jadi
perawan tua.
“Betul,
Ambu. Tapi Eneng ingin menikah dengan laki-laki yang bisa menjadi Imam.
Laki-laki yang Eneng sayangi, dan Eneng hormati. Sebaliknya, juga bisa
melindungi Eneng, dan bisa menyayangi keluarga.”
Seperti
apa pria idaman Eneng, semoga tidak kelamaan datangnya, begitu selalu doa yang
dipanjatkan Abah dan Ambunya.
***
Sebulan
kemudian.
Rumah Pak Lurah
terlihat lebih ramai dari biasa. Beberapa tenda berwarna putih nampak sedang
dipasang. Beberapa ibu-ibu juga nampak keluar masuk rumah. Tampaknya akan ada
hajatan dalam waktu dekat. Tentu saja, berita ini sudah sampai di telinga Rojak.
Eneng akan dipinang oleh Pono, putra Pak Dudung, salah seorang tetangga Abah
Adang alias Pak Lurah.
“Kurang
apa aku dibanding si Pono, Mak?” tanya Rojak kesal, ketika pertama kali
mendengar berita itu dari Emak.
Emak
menggeleng. “Namanya bukan jodoh, Jak.”
“Pasti
Pono pakai jalan apa itu, sampai nikung aku,” Rojak masih tidak terima.
“Jangan
bicara begitu, Jak. Berperasangka itu tidak baik. Baiknya kau tanyakan sendiri
sama si Eneng, jadi bisa tau di mana salahmu,” Emak memberi saran, sambil menepuk bahu Rojak.
Rojak
pun setuju. Esoknya, ia ijin pada Pak Rojali, untuk datang ke bengkel lebih
siang. Ia harus bicara pada Eneng. Sampai berpeluh Rojak menunggu Eneng.
Untunglah menjelang pukul sepuluh, yang ditunggunya muncul juga.
“Eneng,”
panggil Rojak, sambil menuntun motornya.
“Eh,
Abang. Tumben siang gini ada, ndak ke
bengkel, Bang?” tanya Eneng ramah.
“Sengaja
nunggu Eneng.”
“Oh,
ada apa, Bang?”
“Benar
Eneng mau nikah?”
Eneng
nampak terkejut mendengar pertanyaan Rojak. Sudah sebulan ini, ia memang
menjauhi Rojak. Bukan karena mau menikah. Ia pun sebenarnya baru dekat dengan
calon suaminya.
“Iya,
Bang. Benar.”
“Sama
Pono?”
“Iya, Bang. Sama Kang
Pono.”
“Kenapa, Neng? Karena
sama-sama Sunda?” Rojak tak tahan tak bertanya. Sedari awal, ia tak pernah
merasa Pono adalah saingannya. Pono yang pendiam, klemar-klemer itu? Sungguh
lelet!
Eneng menggeleng.
“Bukan, Bang. Apapun sukunya, di mata Allah kan sama-sama manusia juga,” Eneng
menjelaskan dengan lembut.
“Terus
kenapa? Apa karena Pono sekarang keren, pakai ijo-ijo? Abang juga bisa kalau
pake ijo-ijo aja mah, Neng,” sedikit geram, Rojak menyinggung profesi Pono,
yang sedang jadi tren saat ini di kalangan pemotor.
Eneng menggeleng. “Bukan karena itu, Bang.
Kang Pono itu sayang sama Eneng.”
“Apa
buktinya, Neng? Kalau cuma ngomong sayang, Abang juga bisa.”
“Kang
Pono bisa menjaga Eneng, Bang. Kang Pono memperhatikan keselamatan Eneng.”
Rojak
menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Perasaannya tiba-tiba tidak enak.
“Kalau
mengajak Eneng bareng di motornya, Kang Pono selalu bawain helm buat Eneng,
Bang. Kang Pono ndak pernah lupa,
walaupun Enang ndak pernah minta.”
“Ya
itu kan karena dia tukang ojek, Eneng! Udah keharusan dia bawa helm buat
penumpangnya.”
“Dari
sejak menjadi ojek biasa, Kang Pono sudah selalu membawa helm cadangan, Bang.
Apalagi sekarang, Kang Pono bergabung di perusahaan ojek besar itu, jadi memang
aturannya harus membawa helm cadangan.”
Rojak
menahan napas melihat nada suara Eneng yang tenang. Eneng makin kelihatan
cantik kalau sedang serius seperti itu.
“Eh,
Neng... Kalau itu masalahnya, Abang bisa kasih pinjam helm Abang buat Eneng,”
tutur Rojak. Sedikit berharap Eneng akan membatalkan keputusannya, walaupun
kelihatannya sulit.
“Terima
kasih, Abang sudah berniat begitu,” Eneng tersenyum kecil, membuat jantung
Rojak sekali lagi seperti jumpalitan tak karuan.
“Terima
kasih, Abang sudah baik dan perhatian sama Eneng,” tutur Eneng lagi, membuat
hidung Rojak kembang kempis saking senangnya.
“Tapi,
kalau Abang benar sayang sama Eneng, Abang ndak
akan membiarkan Eneng pakai helm, sementara Abang ndak pakai.”
“Itu
artinya Abang sayang betul sama Eneng! Abang rela berkurban buat Eneng!” tukas
Rojak penuh semangat.
“Sayang
dengan cara yang salah, Bang. Coba kalau ada apa-apa sama Abang karena helm
Abang diberikan ke Eneng, itu kan Eneng juga yang susah, Bang? Atau kalau Abang
ditangkap polisi, gimana sama Emak dan Aminah,” Eneng menyebut nama adik
perempuan Rojak semata wayang. “Eneng juga pasti akan kepikiran, Bang.”
“Kalau
Abang sayang sama seseorang, Abang pasti ingin yang terbaik untuknya. Abang ingin
menikah, membina keluarga yang sakinah mawadah warohmah. Bagaimana sih caranya?
Ya salah satunya dengan menjaga kesehatan Abang, menjaga diri orang-orang yang
Abang sayang, membuat mereka bahagia. Dan itu bisa dicapai kalau Abang sehat
walafiat, jadi bisa mencari nafkah,” Eneng menjelaskan panjang lebar, membuat
Rojak terpana sampai lupa mengatupkan mulutnya.
“Bang,
Eneng juga perhatikan. Selain Abang suka lupa bawa helm, Abang suka ngebut
kalau di jalan. Kenapa sih, Bang? Itu Monas juga masih di sana walaupun Abang
telat. Ndak akan pindah, Bang.”
“Kalau
cepat, ya lebih banyak yang bisa Abang kerjakan, Neng. Antar Eneng pun nggak
akan telat,” jawak Rojak cepat.
“Buat
Eneng, lebih baik terlambat sedikit daripada celaka, Bang. Lagian, kenapa sih
Abang suka nerobos lampu? Abang suka salah jalur.”
“Motor
mah nggak ada jalurnya, Neng. Jalur mana aja bisa!”
“Ndak begitu, Bang. Motor itu ada
jalurnya sendiri. Mobil aja ndak boleh masuk busway, motor juga sama, Bang!”
“Naik
motor sama Abang itu enak, Neng. Cepat. Beda kalau sama Pono mah! Lelet!
Hahaha...” Rojak tertawa mengejek.
“Cepat,
iya. Tapi aman,...” Eneng menggeleng. “Terus terang Bang, Eneng suka takut
kalau ngikut motor Abang. Dengkul Eneng beberapa kali kena belakang mobil,
kalau motor Abang lagi nyelip. Eneng deg-deg-an kalau Abang lagi ngelawan
jalur. Eneng gemetar kalau Abang lagi ngebut.”
Penjelasan
Eneng membuat Rojak terdiam.
“Menurut
Eneng, lelaki itu tugasnya melindungi wanitanya, Bang. Bukan membuatnya takut.
Itu hakikat dari Allah, seperti perempuan yang juga harus patuh pada suaminya.”
Eneng
tersenyum kecil. “Kang Pono, walaupun hanya tukang ojek, pendidikan seadanya,
tapi sikap tanggung jawabnya bisa membuat Eneng merasa aman, Bang.”
Rojak
merasa nyeri sampai ke ulu hatinya.
“Cara
kita mengendarai kendaraan, mau itu motor atau apapun, itu seperti cara kita
menjalani kehidupan, Bang. Mau cepat tapi asal seruduk dan tidak aman, atau
sebaliknya. Perlahan, tapi aman dan taat aturan,” sekali lagi kata-kata Eneng
membuat Rojak termenung.
“Kalau
bukan kita yang menjaga diri kita sendiri, dan orang yang kita sayangi, siapa
lagi yang akan menjaganya, Bang? Menjaga diri, itu juga perintah Allah, Bang.
Allah yang memberikan hidup untuk kita, selayaknya kita jaga baik-baik. Nyawa
dan keselamatan kita.”
Eneng
membungkukan badannya. “Maafkan Eneng ya, Bang. Malah menggurui Abang. Abang
pasti sudah lebih makan asam garam daripada Eneng.”
Rojak
menarik napas panjang.
“Abang
juga minta maaf ya, Neng, kalau membuat Eneng merasa nggak enak bersama Abang.
Rejekinya si Pono lah ini,” Rojak masih tampak tidak terima, walaupun nada
suaranya sudah tidak semarah tadi.
“Rejeki
dan jodoh kan di tangan Allah, Bang. Tugas kita ya meminta dan berusaha, tapi
Allah yang atur.”
Rojak
tertunduk malu. Tak disangkanya, Eneng yang beberapa tahun lebih muda dari pada
dia, ternyata bisa berpikir sedewasa itu.
“Eneng
minta maaf ya Bang, udah mengecewakan Abang.”
Rojak
tersenyum kecut. Pelajaran betul yang dia dapat siang ini.
“Ya
sudah, Neng. Abang pergi dulu,” Rojak bersiap menyalakan mesin morotnya.
“Abang
mau ke bengkel?”
“Abang
mau beli helm dulu, Neng. Habis itu baru ke bengkel.”
“Helm
Abang rusak?” Eneng menunjuk helm yang digantung di stang motor Rojak.
“Mau
beli helm cadangan, Neng. Tiap hari kan boncengin Emak ke pasar, sama jemput Aminah dari sekolah.”
Eneng
tersenyum haru. “Itu namanya pria bertanggung jawab, Bang. Ndak hanya memikirkan diri sendiri, juga bukan karena takut polisi,
tapi keselamatan orang-orang terdekat.”
Rojak
mengangguk. Tidak sia-sia dia kepanasan sesiangan ini menunggu Eneng. Kata-kata
Eneng sungguh membuatnya malu.
“Bang,”
Eneng membuka tas nya, lalu mengeluarkan sesuatu. “Eneng boleh titip untuk Emak
ya. Kemarin Abah mampir ke rumah Abang, Emak lagi ndak di rumah, ndak ada
yang bisa dititipin juga.” Eneng menyodorkan amplop berwarna putih.
Rojak
menelan ludah. Undangan pernikahan Eneng.
“Datang
ya Bang, sama Emak dan Aminah. Eneng tunggu.”
Pandangan
Rojak tidak bisa lepas dari wajah Eneng yang entah kenapa, hari itu terlihat
lebih bercahaya dibanding biasa. Mungkin benar kata orang. Menjelang hari
pernikahan, biasanya calon mempelai terlihat lebih bersinar. Rasa iri Rojak
makin menjadi.
“Oh
iya, Bang. Kemarin waktu bimbingan Ta’aruf, Teh Rosita nanyain Abang.”
“Rosita,
Neng?” tanya Rojak canggung, sambil menyebut nama kakak sepupu Eneng,
ponakannya Pak Lurah.
“Iya,
Bang. Katanya titip salam untuk Abang,” senyum Eneng mengembang. “Eneng titip
aja Bang, kalau nanti Abang jalan-jalan sama Teteh, jangan lupa Teteh dikasih
helm ya, Bang,” Eneng mengedipkan mata kanannya.
'Jangan kuatir, Neng,’ jawab Rojak dalam
hati. ‘Siapapun itu jodoh Abang, akan
Abang pakaikan helm, dan Abang jaga keselamatannya.’
Calon istri itu,
pasangan hidup, sejiwa seirama. Orang kesayangan itu, si tulang rusuk, sudah
selayaknya dijaga dan dipeluk, bukan dibikin remuk.
***
o
Blog post ini dibuat dalam rangka
mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda
Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda
Motor dan Nulisbuku.com
No comments:
Post a Comment