Thursday, May 09, 2013

#NGUPING


           Dita menghela napas lega. Akhirnya kelar juga kerjaan yang bikin mumet. Setelah hampir seminggu berkutat dengan bacaan dan data, finally ia bisa menyelesaikan hutang empat artikel untuk majalah tempatnya bekerja. Dua artikel liputan konser dan dua hasil wawancara narasumber.
             Lagu di ipodnya berhenti. Dita meregangkan tubuhnya, ke kanan dan ke kiri.
             “Gue sendirian.”
             Dita menoleh mendengar suara berat itu. Ternyata Bapak di belakangnya sedang menelpon.
             “CafĂ© Jakarta.”
              “…..”
            “Ga ada. Cuma ada satu cewek, lagi sibuk main lappie, sambil pake earphone. Ga penting lah, masih kecil.”
              Hm… apa itu maksudnya aku? Dita melihat pakaian yang dikenakannya. Mungkin kaos gombrong, celana jins dan sneakersnya yang membuatnya kelihatan masih seperti anak sekolah, atau minimal mahasiswa.
                “…..”
                “Okay…. Barangnya udah di gue sekarang, mau lo ambil kapan?”
           Dita mematikan ipodnya. Tapi entah kenapa, ia membiarkan earphonenya masih menempel di telinga. Barang apa maksudnya?
                “Jangan dikirim, bro, nanti ketauan. Kalau ketangkap, repot.”
               Bro? Artinya Bapak ini sedang bicara dengan seorang cowok. Siapa cowok itu? Siapa mereka? Apa yang sedang mereka bicarakan? Barang apa yang dimaksud, sehingga mereka bisa ditangkap jika ketauan?
                “Iya, pake nama samaran. Nama kita ga boleh ada yang keluar pokoknya.”
                “…..”
                “Yoi, lo tenang aja. Pokoknya begitu gue terima uangnya, barang udah jadi punya lo.”
                Barang apa yang dimaksud?
               Dita mengambil cermin kecil di tasnya. Lalu pelan sekali, diarahkannya cermin itu sedemikian rupa, sehingga ia bisa melihat wajah orang yang duduk tepat di belakangnya. Karena orang itu duduk membelakanginya, ia tak bisa melihat wajahnya. Dari belakang, orang itu nampak lumayan rapih, berambut pendek, dan berdasi! Hm….
                “Siang ini gue rapat di Gedung biasa.”
                “…..”
                “Yeah, you know. Berkumpul dengan orang-orang itu.”
                “…..”
              “Ga bisa, gue harus hadir, minimal satu-dua jam. Setor muka dan absen aja kok, habis itu bisa cabut lagi. Yang penting ada paraf, biar transferan tiap bulan lancar. Kalau ga, repot gue nanti.”
                Dita mulai sibuk menerka. Apa Bapak ini, anggota suatu perkumpulan rahasia? Agen pemerintah? Atau apa? Naluri wartawannya muncul. Ia pura-pura mengetik di laptopnya dengan serius, sambil sesekali berdendang, seakan mengikuti irama musik di ipodnya, padahal ipod itu sudah mati dari tadi.
                “Bulan ini lancar. Makanya bisa stock tuh barang.”
                “…..”
                “Banyak. Tapi ya siapa cepat dia dapat. Makanya lo buruan transfer.”
                Kening Dita berkerut. Sepertinya….barang yang dijual Bapak ini, bukan barang ‘seram’. Barang ‘seram’ biasanya tidak dijual massal seperti ini.
            “Yah, lumayan. Kata orang, siklusnya memang begitu. Habis-habisan di awal buat kampanye. Syukurlah kepilih. Nah lima tahun ini saatnya ngumpulin uang buat ngelunasin pinjaman biaya kampanye kemarin, skalian ngumpulin modal buat usaha. Habis kelar lima tahun ini, rasanya gue ga bakal kepilih lagi. Lah wong rapat aja jarang hadir, hahaha…”
                Bapak itu tertawa menggelegar. Sepertinya dia lupa kalau topik yang dibicarakannya itu sensitif.
                “Makanya nih bisnis harus jalan….”
                Dita mulai paham.
           “Lah gaji bulanan kan udah ketauan jumlahnya, yah habis sama bini lah. Kalau bisnis ini buat mbayarin icip-icip sama yang manis-manis, hahaha…”
                Dita mengepalkan tangannya gemas. Jelas sudah semuanya. Nampaknya Bapak ini adalah salah seorang anggota D*R. Pejabat pemerintahan, yang seharusnya rapat di gedung M*R/D*R, karena itu dia memakai jas dan dasi. Ia ingin setor muka dan setelah itu bisa pergi, seperti yang tertangkap dilakukan “Bapak-Bapak terhormat” yang memakai jas dan dasi yang lain? Malah ada yang kepergok nonton video pada saat meeting? Atau ketiduran ketika mendengar pidato Presiden? Jadi Bapak ini salah satu dari dewan yang terhormat itu? Lantas, barang apa yang dijualnya?
               Dita berpikir sejenak, menimbang apa yang harus dilakukannya. Kalau di film-film, ia akan berdiri, mengambil segelas air, lalu menuangkannya ke atas kepala si Bapak bersuara berat itu. Kalau perlu, ingin ditariknya dasi Bapak itu hingga putus. Tapi kali ini, Dita tak sudi. Ia wartawan berkelas. Orang kelas teri seperti Bapak itu, tak bisa ditindaki kelas teri juga. Akhirnya Dita memutuskan untuk memotret Bapak itu dari jauh. Memang hanya sekenanya, tapi tak apa.
             Dita membuka file baru di laptopnya, lalu mulai mengetik. Peduli setan dengan barang apa yang dijual orang itu. Sepertinya, editornya akan mendapat tambahan satu artikel baru dari Dita. Tentang “kelakuan anggota dewan terhormat di jam kerja.”  

               
                

Thursday, May 02, 2013

Selamat HarDikNas!


Selamat Hari Pendidikan Nasional!

Ga biasa2nya gue nulis serius di blog yaaa, hehehe.. so this is one of a kindJ
Hari ini, gue menuliskan kegalauan gue (jiah, emang biasanya enggak?:p) as a mom (of three, if you may add), tentang pendidikan anak di Indonesia.
Seperti pernah gue twit, sekolah di Indonesia nowadays cukup variatif, dan ini yang membuat orang banyak pilihan sekaligus bingung.

Pertama, sekolah konvensional, yaitu tipikal sekolah lama yang biasanya mengutamakan hafalan. Less logic, karena yang diajarkan mostly udah pasti. Issuenya, banyak hal2 ga penting yang diajarkan di sekolah ini. Anak2 jadi kurang kritis, kurang kreatif, lebih banyak menghafal.
Remember waktu kita kecil, gambar gunung dengan matahari tenggelam di atasnya, lalu jalan dan sawah di bawahnya? Gue ga tau apakah sekarang gambar seperti itu masih diajarkan apa enggak.
Satu hal yang baik adalah cara sekolah menerapkan disiplin buat anak2nya.

Di international (atau national+) school, anak diajarkan untuk berpikir kritis, kreatif, berani mengemukakan pendapat. Gue salut sama kurikulumnya, salut sama pengajar2nya. Anak yang pendiam, ga percaya diri, bisa berubah menjadi anak yang berani, smart dan luar biasa kreatif.
Satu hal yang gue salut banget, international school ini biasanya mengutamakan proses belajar, dan bukan hanya resultnya J I adore them for this.
Walaupun gue kecewa karena ternyata ada international school beken yang ga mengajarkan agama sama sekali. Kebebasan yang (bisa jadi) bablas.

Satu yang sampai sekarang gue belum dapat jawabannya.
Apakah sekolah2 itu mengajarkan anak untuk toleransi? Seberapa penting mereka mengajarkan pendidikan moral?
Its not Pendidikan Moral Pancasila yang harus diajarkan (Pancasila is an ideology, right?), tapi pendidikan moral manusia! So as long as you’re a human, dimanapun lo hidup, di negara manapun, apapun agama lo, apapun ideologi negara tempat lo tinggal, lo tetap punya “budaya diri” yang lo bawa sampai mati. Such a simple thing like lo harus antri, mengutamakan ibu hamil atau orang tua untuk duduk di bis, membantu orang menyebrang jalan, dll.

Gue rasa, di Indonesia (atau bahkan di dunia), udah terlalu banyak orang pintar. Cas cis cus juara English speech, olimpiade matematika, dapat medali emas di olimpiade fisika, etc etc. Tapi seberapa banyak sekolah yang mengajarkan anak untuk jujur? Seberapa banyak sekolah yang menjelaskan ke anak kenapa dia tidak boleh nyontek (instead of ga jujur, tapi nyontek itu adalah mengambil yang bukan hak lo, dan itu sama dengan korupsi!). Nyontek is awal dari korupsi.

Nilai2 seperti itu yang semakin berkurang diajarkan di sekolah, tapi ironisnya, hal2 itu yang semakin diperlukan di jaman sekarang ini.
Menjadi juara is one thing. Bagaimana cara lo menjadi juara is another thing.
Jago bahasa inggris itu penting. Tapi menaati peraturan ga kalah penting.
Menggambar gunung itu bisa dengan banyak cara, sama seperti warna anggrek itu ga selalu ungu, dan wortel ga selalu orange.

Again, there’s such no perfect place. No perfect school to learn.
Sebagai orang tua (yang belum tua2 amat:p), should combine each component, seperti main puzzle.
Apa yang belum diberikan di sekolah, kita harus berikan di luar sekolah. Misalnya… klo lo pilih sekolah katolik konvensional (pelajaran alkitabnya mantep banget ini…), anak kudu kursus bahasa inggris.
Kalau anak lo masuk international school, sepanjang hari udah cas cis cus, ga perlu lagi les inggris. Tapi mungkin perlu Sunday school di gereja.

Life is about completing the journey.
You choose your journey, fight for it, and enjoy it the most.  
So, anak2 lo nanti bakal sekolah dimana, Yan?
*geleng2* “Masih bingung gue….”