Wednesday, October 28, 2015

Ulang Tahun (Ke-sekian) di #RumahKedua

Kali ini gue mau cerita tentang birthday gue di awal bulan kemarin:) 
(yang belum ngucapin, nanti traktir aja karena telat ya:D)

Hari diawali dengan biasa. 
Bangun jam 4.30, terkantuk2 nyiapin bekal dan sarapan, Unyil siap2 mandi dan sarapan trus berangkat sekolah.
Hubby yang sedari kemarin udah sibuk nanyain “mau kado apa”, langsung memeluk istrinya yang manis ini (iya emang, selain tambah tua, gue juga tambah narsis:p)

Nyokap (yang selanjutnya disebut Mami) telpon dan ngucapin selamat ulang taun, Mami bilang kalau hari ini ga bisa kemana2, soalnya lagi maag & diare. Even ga kerja & bakal istirahat di rumah aja.
Yah, langsung murem dong gue. Kalau udah denger nyokap sakit tuh bawaannya langsung stress dan sakit kepala.

Lalu Mama Mertua (yang selanjutnya disebut Mama) juga telpon & mengucapkan selamat, dan bilang kalau beliau membuatkan kue ulang taun kesukaan gue & Mami.
Iya, Mama adalah chef rumahan hebat, gue & Mami adalah salah dua dari sekian banyak fans masakannya hehehe... 

Gue terus berangkat ke kantor (selanjutnya disebut #RumahKedua :p), tanpa sempat merasa was-was. Buat yang belum tau, kebiasaan di kantor, kalau ada yang ulang taun, mesti dikerjain. Dari yang di-stop Satpam, mobil hilang (padahal dipindah parkir ke gedung lain), didandanin ala-ala penyanyi rock, sampai jualan Wedank ke tiap lantai dengan dandanan lengkap ala Mbok Jamu. 
(Eh udah tau kan ya, kantor gue produksi Wedank? *sponsor lewat*)

Gue tiba di kantor dengan loyo. Kurang tidur beberapa malam karena Unyil 2 sakit dari Sabtu (demam sampe muntah2), belakang leher penuh kerokan, suara bindeng dan kepala berat. Ga kepikiran bakal dikerjain apa, bisa masuk kantor aja dah bagus, hehehe...
Menjelang siang, sushi tart yang gue pesan pun tiba. Syukurlah teman2 pada suka J 

Menuju sore, ga ada tanda2 akan dikerjain. Asik, aman nih, pikir gue. Mungkin pada ksian ya, karena gue sakit. Ternyataaa??

Sekitar jam 4, di saat gue lagi self-kerokan (alias ngerok sendiri) di meja gue, tau2 muncul seseorang, membawa kotak kuning, yang di atasnya ada beberapa batang lilin yang sudah menyala.
Tau ga, dia bilang apa? Simak di video ini yaJ





Kira2 begini,
“Hai Luisa. Bisakah kau kembali padaku? Ini aku, Hans. Ternyata ini bukan tentang waktu. Bukan juga tentang masa lalu. Tapi tentang menemukan orang yang paling tepat untukmu. Happy birthday, Luisa.”

Bwahahahaha, iyaaaa, gue dibikinin drama #FinallyYou di kantor, wkwkwk!

Asli kemaren sampe ngakak ga berhenti, terutama karena setelah ‘Hans’ gadungan memberikan pernyataan cinta, dan bertanya “Maukah kau kembali padaku?”
Dan tau2 muncullah Mas Raka (itu rekan sekantor yang kebetulan namanya Raka), muncul juga membawa kotak, juga dengan lilin menyala di atasnya. Dia teriak, “Tunggu, tunggu!”
Dia bilang “Kita ini hanya 2 kawan, yang bertemu di persimpangan jalan. Mau kembali ke masa lalu yang nyaman, atau menatap masa depan?”
And while he’s saying that, dia ngelirik2 gitu ke contekan di tangannya, hahahaha:D

Asli langsung berasa sembuh kan gue, hahaha...
Tauuu aja gue selalu tergila2 sama martabak.. ke-2 kotak tadi isinya martabak telur dan martabak manis, hahaha.. Aren’t they sweet???
Sampai mules ketawa sesorean:p 
Gue adalah salah satu penghuni #RumahKedua yang beruntung:p

Malamnya, gue ke rumah Mami, mau lihat keadaannya gimana.
Ternyata Mama juga datang ke rumah Mami, bawa berbagai macam masakannya, plus kue ulang tahun, made by her :)

Dari dulu sejak gue belum married, gue selalu mensyukuri Mami dan Mama punya hubungan yang baik. Yang satu pergi ke mana, pasti bawa oleh2 buat yang satunya. Yang satu sakit atau ulang tahun, yang satunya pasti menelpon. 
Bersyukur luar biasa, Mami punya 3 besan yang baik dan saling respect each other. Walopun kadang ketemu hanya 1-2x setahun (kalau ada cucu yang birthday dan dirayakan), tapi Mama selalu telpon Mami saat Natalan, dan Mami selalu telpon Mama saat Waisak.
Hari ini, Mama repot2 masak buat menantunya yang ulang tahun, lalu repot2 mbawain masakannya ke rumah Mami yang lagi sakit.

Belum cukup itu, ada lagi beberapa hadiah tak terduga lagi di hari keren ini.
Satu, Arsenal menang lawan MU 3-0. Woohoo, MU Boookkkk!!
Dua, saat Audit Internal, puji Tuhan dept gue dapat 5 satisfactory dan 1 observasi.
Tiga, dapat bungkusan teri favorit gue yang diimport dari satu warteg di Bogor.
Empat, Lima, Enam... Tuh kan, ga habis2 ya berkatNya?

Kalau ditanya, apa yang gue minta di hari ulang tahun ini?
Gue hanya minta keadaan terus seperti ini. Ga minta lebih. Keadaan ini, apa yang gue punya sekarang, cukup buat gue. Hidup gue lengkap. Sempurna. Complete. I’m so thankful.

Have I told you that I’m blessed?

Yes, I am. Truly.

Tuesday, October 27, 2015

Hati-Hati Dengan Rasa Nyaman

Akhirnya nge-blog lagiiiii, setelah sekian lama dibiarkan berdebu *brb nyapu dulu*

Kali ini mau ngobrolin ‘rasa nyaman’.

Definisi rasa nyaman menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:
nya·man a 1 segar; sehat: badannya berasa -- disinari matahari pagi; 2 sedap; sejuk; enak: suaranya merdu, -- didengar; 
me·nya·man·kan v menjadikan nyaman; menyegarkan; menyejukkan; menyedapkan: taman yg terpelihara baik memberi pemandangan yg ~; 
ke·nya·man·an n keadaan nyaman; kesegaran; kesejukan

Intinya, kenyamanan adalah sesuatu yang baik dan positif.
Ga cuma kita, sebagai makhluk hidup, hewan pun punya insting untuk selalu mencari kenyamanan. Misalnya anjing yang suka minta digaruk punggungnya atau anak kecil yang suka dipeluk. Kita aja yang udah gede gini, ga bisa memungkiri, pasti selalu mencari rasa nyaman.

Kantor gue, yang disebut2 sebagai #RumahKedua, adalah tempat yang nyaman bagi penghuninya. Kantor dikondisikan senyaman mungkin, dengan banyak tempat lesehan, ragam kegiatan yang menyenangkan, cemilan atau minum yang bisa diambil di pojok2 tertentu (walaupun sebatas produk sendiri), suasana kerja yang non formal, atasan yang bisa diajak karaoke sampai spa bareng:p, rekan kerja yang bisa lo kerjain habis2an saat dia ulang taun J
Sebagian teman malah bilang, di kantor lebih nyaman daripada di rumah sendiri (mungkin dia anak kost ya,  hehehe..)

Pernah dengar kata2 “jangan terlalu lama di comfort zone”, atau “life begin when you’re out of your comfort zone”?
Terlalu lama bersahabat dengan rasa nyaman, kadang bisa jadi bumerang.
Saking nyamannya, lo sampai lupa kalau lo harus menjalani setiap harinya, dengan sebaik2nya. Terlalu nyaman, sampai lo lupa kalau elo ini digaji loh tiap bulan. Untuk bekerja, bukan untuk leyeh-leyeh. Kalau kerja sambil leyeh-leyeh, itu baru bolehJ
Kenyamanan ini bisa membuai lo, saat semuanya terasa “baik2 aja”, padahal saat itu lo sebenarnya sedang menurunkan standard “baik2 aja” versi lo.
Kenyamanan bikin lo terbiasa. Tanpa kreasi. Tanpa inovasi. Tanpa hal2 baru.

Sama seperti di kantor.
Kantor yang nyaman, supposed to be jadi rumah buat lo. Rumah tempat kita bisa berkreasi, menuangkan ide2 keren lo. Tempat lo bisa jadi diri sendiri. Tempat lo bisa belajar apapun, dan bersedia membagikannya ke penghuni yang lain.

Kenyamanan yang terlalu nyaman, membuat lo lupa banyak hal.
Kantor bukan rumah. Kantor itu menggaji lo, sedangkan rumah tidak.  
Rumah aja punya aturan dan tuntutan, apalagi kantor:p
Jangan merasa terlalu nyaman, sampai melupakan kalau perusahaan juga punya aturan yang harus dipatuhi, dan tuntutan yang harus dipenuhi.
Jangan merasa terlalu nyaman, sampai lo lupa harus respect ke orang lain, sesama karyawan, ke atasan atau even ke bawahan lo.

Dan kalau lo merasa ini rumah lo juga, mbok ya diurus rumahnya.
Ikutlah merawat rumah ini, seperti layaknya tuan rumah. Jangan hanya ikut bangga, tapi ikutlah menjaganya juga, sebaik2nya.

Serumah dengan orang lain, artinya kita harus mempertimbangkan orang2 lain dalam setiap pengambilan keputusan. Mau matiin lampu ruang tamu, pikirkan apa sedang ada orang di situ.
Mau kecilin suhu AC, pikirkan apa ada orang yang akan kedinginan.
Mau parkir di lobby, pikirkan apakah itu akan bikin orang lain susah apa tidak.
Kita hidup bersama, dengan penghuni rumah lain. Kita ga hidup sendirian, bahkan di rumah kita sendiri.

Jadi? 
Yuk bersama2 membangun rumah kita. Berjuang bersama untuk menjadikan #RumahKedua kita lebih baik. Sebagai sesama penghuni rumah, kudu kolaborasi. Kerja bersama, jelas lebih ringan daripada kerja sendiri.

Kenyamanan bikin buntu? Iya, betul. Tapi banyak hal yang baru keluar saat merasa nyaman? Itu juga betul. Tergantung, bagaimana menyikapi si rasa nyaman itu.

Tulisan ini juga buat gue, yang seringkali merasa terlalu nyaman, sampai melupakan banyak mimpi dan harapan:p


Ah, gue ini. Sekian lama ga nge-blog, sekalinya nge-blog malah tentang ginian *toyor kepala ndiri*

Ketika Rojak Jatuh Cinta

           Setengah berlari, Rojak mengayuh motornya lebih cepat. Sosok ayu yang ditunggunya baru saja muncul di ujung gang.
            “Neng, Abang antar?”
           Eneng menoleh. Jilbab merah muda yang dikenakannya hari ini, membuatnya kelihatan  cantik sekaligus soleha. Persis seperti sosok istri idaman Rojak.
         “Pagi, Bang Rojak,” sapa Eneng dengan senyum khasnya, yang membuat Rojak tidak bisa tidur semalaman.
            “Pagi, Eneng. Mau ke tempat kebaya, ya?”
            “Iya, Bang. Sudah ditunggu sama Bu Mursid.”
            “Yuk, Abang antar ya,” Rojak naik ke atas motornya.
            “Abang, ndak bawa helm?”
            “Nggak apa-apa Neng, kan dekat ini ke pengkolan depan.”
            Eneng tampak bimbang sejenak. “Duh, gimana ya, Bang... Iya sih, ndak jauh. Tapi kan...”
        “Nggak apa-apa, Neng. Kalau ada polisi, kan ada Abang...” Rojak menepuk dadanya yang dibusungkan.
         Eneng menarik napas, lalu melihat jam tangannya. Bukan hanya masalah helm dan polisi, tapi....
            “Iya deh, Bang,” Eneng memutuskan dengan berat hati.  “Tapi pelan-pelan aja, ya.”
            Rojak mengangguk girang. Sinar matahari nampak berwarna merah muda di matanya. Sudah bukan rahasia lagi. Rojak, putra sulung Emak, pemilik warung kelontong yang sudah tahunan tinggal di daerah Jembatan Empat, menaruh hati pada Eneng, putri tunggal Pak Lurah. Rojak adalah orang kepercayaan Pak Rojali, pemilik bengkel besar di daerah itu. Keahlian Rojak mengutak-atik mesin mobil dan motor, membuat karirnya menanjak cepat.
Sedangkan Eneng, lulusan sekolah menjahit, bekerja di Rumah Kebaya Soleha milik Bu Mursid. Eneng yang manis, kalem tutur kata maupun parasnya, memang pantas jadi istri idaman banyak pria. Kabarnya, Pak Lurah kerap kerepotan menerima hadiah dari tetangga-tetangganya, yang sudah antri ingin memperistri atau mengambil mantu si Eneng. Selain Rojak, ada beberapa pemuda lagi yang ketahuan mendekati Eneng.
            Sementara si Enengnya sendiri? Masih adem ayem.
         “Umur Eneng masih muda, Abah. Eneng masih mau sekolah. Masih mau beribadah. Masih banyak cita-cita Eneng yang ingin Eneng lakukan untuk Allah,” begitu selalu kata Eneng, kalau ditanya Pak Lurah.
            “Menikah itu juga ibadah, Eneng,” kata Bu Lurah, setengah takut kalau anaknya jadi perawan tua.
            “Betul, Ambu. Tapi Eneng ingin menikah dengan laki-laki yang bisa menjadi Imam. Laki-laki yang Eneng sayangi, dan Eneng hormati. Sebaliknya, juga bisa melindungi Eneng, dan bisa menyayangi keluarga.”
            Seperti apa pria idaman Eneng, semoga tidak kelamaan datangnya, begitu selalu doa yang dipanjatkan Abah dan Ambunya.
***
            Sebulan kemudian.
Rumah Pak Lurah terlihat lebih ramai dari biasa. Beberapa tenda berwarna putih nampak sedang dipasang. Beberapa ibu-ibu juga nampak keluar masuk rumah. Tampaknya akan ada hajatan dalam waktu dekat. Tentu saja, berita ini sudah sampai di telinga Rojak. Eneng akan dipinang oleh Pono, putra Pak Dudung, salah seorang tetangga Abah Adang alias Pak Lurah.
           “Kurang apa aku dibanding si Pono, Mak?” tanya Rojak kesal, ketika pertama kali mendengar berita itu dari Emak.
            Emak menggeleng. “Namanya bukan jodoh, Jak.”
            “Pasti Pono pakai jalan apa itu, sampai nikung aku,” Rojak masih tidak terima.
           “Jangan bicara begitu, Jak. Berperasangka itu tidak baik. Baiknya kau tanyakan sendiri sama si Eneng, jadi bisa tau di mana salahmu,” Emak  memberi saran, sambil menepuk bahu Rojak.
            Rojak pun setuju. Esoknya, ia ijin pada Pak Rojali, untuk datang ke bengkel lebih siang. Ia harus bicara pada Eneng. Sampai berpeluh Rojak menunggu Eneng. Untunglah menjelang pukul sepuluh, yang ditunggunya muncul juga.
            “Eneng,” panggil Rojak, sambil menuntun motornya.
            “Eh, Abang. Tumben siang gini ada, ndak ke bengkel, Bang?” tanya Eneng ramah.
            “Sengaja nunggu Eneng.”
            “Oh, ada apa, Bang?”
            “Benar Eneng mau nikah?”
            Eneng nampak terkejut mendengar pertanyaan Rojak. Sudah sebulan ini, ia memang menjauhi Rojak. Bukan karena mau menikah. Ia pun sebenarnya baru dekat dengan calon suaminya.
            “Iya, Bang. Benar.”
            “Sama Pono?”
“Iya, Bang. Sama Kang Pono.”
“Kenapa, Neng? Karena sama-sama Sunda?” Rojak tak tahan tak bertanya. Sedari awal, ia tak pernah merasa Pono adalah saingannya. Pono yang pendiam, klemar-klemer itu? Sungguh lelet!
Eneng menggeleng. “Bukan, Bang. Apapun sukunya, di mata Allah kan sama-sama manusia juga,” Eneng menjelaskan dengan lembut.
            “Terus kenapa? Apa karena Pono sekarang keren, pakai ijo-ijo? Abang juga bisa kalau pake ijo-ijo aja mah, Neng,” sedikit geram, Rojak menyinggung profesi Pono, yang sedang jadi tren saat ini di kalangan pemotor.
             Eneng menggeleng. “Bukan karena itu, Bang. Kang Pono itu sayang sama Eneng.”
            “Apa buktinya, Neng? Kalau cuma ngomong sayang, Abang juga bisa.”
            “Kang Pono bisa menjaga Eneng, Bang. Kang Pono memperhatikan keselamatan Eneng.”
            Rojak menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Perasaannya tiba-tiba tidak enak.
            “Kalau mengajak Eneng bareng di motornya, Kang Pono selalu bawain helm buat Eneng, Bang. Kang Pono ndak pernah lupa, walaupun Enang ndak pernah minta.”
            “Ya itu kan karena dia tukang ojek, Eneng! Udah keharusan dia bawa helm buat penumpangnya.”
            “Dari sejak menjadi ojek biasa, Kang Pono sudah selalu membawa helm cadangan, Bang. Apalagi sekarang, Kang Pono bergabung di perusahaan ojek besar itu, jadi memang aturannya harus membawa helm cadangan.”
            Rojak menahan napas melihat nada suara Eneng yang tenang. Eneng makin kelihatan cantik kalau sedang serius seperti itu.
            “Eh, Neng... Kalau itu masalahnya, Abang bisa kasih pinjam helm Abang buat Eneng,” tutur Rojak. Sedikit berharap Eneng akan membatalkan keputusannya, walaupun kelihatannya sulit.
            “Terima kasih, Abang sudah berniat begitu,” Eneng tersenyum kecil, membuat jantung Rojak sekali lagi seperti jumpalitan tak karuan.
            “Terima kasih, Abang sudah baik dan perhatian sama Eneng,” tutur Eneng lagi, membuat hidung Rojak kembang kempis saking senangnya.
            “Tapi, kalau Abang benar sayang sama Eneng, Abang ndak akan membiarkan Eneng pakai helm, sementara Abang ndak pakai.”
            “Itu artinya Abang sayang betul sama Eneng! Abang rela berkurban buat Eneng!” tukas Rojak penuh semangat.
            “Sayang dengan cara yang salah, Bang. Coba kalau ada apa-apa sama Abang karena helm Abang diberikan ke Eneng, itu kan Eneng juga yang susah, Bang? Atau kalau Abang ditangkap polisi, gimana sama Emak dan Aminah,” Eneng menyebut nama adik perempuan Rojak semata wayang. “Eneng juga pasti akan kepikiran, Bang.”
            “Kalau Abang sayang sama seseorang, Abang pasti ingin yang terbaik untuknya. Abang ingin menikah, membina keluarga yang sakinah mawadah warohmah. Bagaimana sih caranya? Ya salah satunya dengan menjaga kesehatan Abang, menjaga diri orang-orang yang Abang sayang, membuat mereka bahagia. Dan itu bisa dicapai kalau Abang sehat walafiat, jadi bisa mencari nafkah,” Eneng menjelaskan panjang lebar, membuat Rojak terpana sampai lupa mengatupkan mulutnya.
            “Bang, Eneng juga perhatikan. Selain Abang suka lupa bawa helm, Abang suka ngebut kalau di jalan. Kenapa sih, Bang? Itu Monas juga masih di sana walaupun Abang telat. Ndak akan pindah, Bang.”
            “Kalau cepat, ya lebih banyak yang bisa Abang kerjakan, Neng. Antar Eneng pun nggak akan telat,” jawak Rojak cepat.
            “Buat Eneng, lebih baik terlambat sedikit daripada celaka, Bang. Lagian, kenapa sih Abang suka nerobos lampu? Abang suka salah jalur.”
            “Motor mah nggak ada jalurnya, Neng. Jalur mana aja bisa!”
            “Ndak begitu, Bang. Motor itu ada jalurnya sendiri. Mobil aja ndak boleh masuk busway, motor juga sama, Bang!”
            “Naik motor sama Abang itu enak, Neng. Cepat. Beda kalau sama Pono mah! Lelet! Hahaha...” Rojak tertawa mengejek.
            “Cepat, iya. Tapi aman,...” Eneng menggeleng. “Terus terang Bang, Eneng suka takut kalau ngikut motor Abang. Dengkul Eneng beberapa kali kena belakang mobil, kalau motor Abang lagi nyelip. Eneng deg-deg-an kalau Abang lagi ngelawan jalur. Eneng gemetar kalau Abang lagi ngebut.”
            Penjelasan Eneng membuat Rojak terdiam.
            “Menurut Eneng, lelaki itu tugasnya melindungi wanitanya, Bang. Bukan membuatnya takut. Itu hakikat dari Allah, seperti perempuan yang juga harus patuh pada suaminya.”
            Eneng tersenyum kecil. “Kang Pono, walaupun hanya tukang ojek, pendidikan seadanya, tapi sikap tanggung jawabnya bisa membuat Eneng merasa aman, Bang.”
            Rojak merasa nyeri sampai ke ulu hatinya.
            “Cara kita mengendarai kendaraan, mau itu motor atau apapun, itu seperti cara kita menjalani kehidupan, Bang. Mau cepat tapi asal seruduk dan tidak aman, atau sebaliknya. Perlahan, tapi aman dan taat aturan,” sekali lagi kata-kata Eneng membuat Rojak termenung.
            “Kalau bukan kita yang menjaga diri kita sendiri, dan orang yang kita sayangi, siapa lagi yang akan menjaganya, Bang? Menjaga diri, itu juga perintah Allah, Bang. Allah yang memberikan hidup untuk kita, selayaknya kita jaga baik-baik. Nyawa dan keselamatan kita.”
          Eneng membungkukan badannya. “Maafkan Eneng ya, Bang. Malah menggurui Abang. Abang pasti sudah lebih makan asam garam daripada Eneng.”
            Rojak menarik napas panjang.
           “Abang juga minta maaf ya, Neng, kalau membuat Eneng merasa nggak enak bersama Abang. Rejekinya si Pono lah ini,” Rojak masih tampak tidak terima, walaupun nada suaranya sudah tidak semarah tadi.
            “Rejeki dan jodoh kan di tangan Allah, Bang. Tugas kita ya meminta dan berusaha, tapi Allah yang atur.”
            Rojak tertunduk malu. Tak disangkanya, Eneng yang beberapa tahun lebih muda dari pada dia, ternyata bisa berpikir sedewasa itu.
            “Eneng minta maaf ya Bang, udah mengecewakan Abang.”
            Rojak tersenyum kecut. Pelajaran betul yang dia dapat siang ini.
            “Ya sudah, Neng. Abang pergi dulu,” Rojak bersiap menyalakan mesin morotnya.
            “Abang mau ke bengkel?”
            “Abang mau beli helm dulu, Neng. Habis itu baru ke bengkel.”
            “Helm Abang rusak?” Eneng menunjuk helm yang digantung di stang motor Rojak.
          “Mau beli helm cadangan, Neng. Tiap hari kan boncengin Emak ke pasar, sama jemput Aminah dari sekolah.”
            Eneng tersenyum haru. “Itu namanya pria bertanggung jawab, Bang. Ndak hanya memikirkan diri sendiri, juga bukan karena takut polisi, tapi keselamatan orang-orang terdekat.”
            Rojak mengangguk. Tidak sia-sia dia kepanasan sesiangan ini menunggu Eneng. Kata-kata Eneng sungguh membuatnya malu. 
            “Bang,” Eneng membuka tas nya, lalu mengeluarkan sesuatu. “Eneng boleh titip untuk Emak ya. Kemarin Abah mampir ke rumah Abang, Emak lagi ndak di rumah, ndak ada yang bisa dititipin juga.” Eneng menyodorkan amplop berwarna putih.
            Rojak menelan ludah. Undangan pernikahan Eneng.
            “Datang ya Bang, sama Emak dan Aminah. Eneng tunggu.”
           Pandangan Rojak tidak bisa lepas dari wajah Eneng yang entah kenapa, hari itu terlihat lebih bercahaya dibanding biasa. Mungkin benar kata orang. Menjelang hari pernikahan, biasanya calon mempelai terlihat lebih bersinar. Rasa iri Rojak makin menjadi.
            “Oh iya, Bang. Kemarin waktu bimbingan Ta’aruf, Teh Rosita nanyain Abang.”
      “Rosita, Neng?” tanya Rojak canggung, sambil menyebut nama kakak sepupu Eneng, ponakannya Pak Lurah.
            “Iya, Bang. Katanya titip salam untuk Abang,” senyum Eneng mengembang. “Eneng titip aja Bang, kalau nanti Abang jalan-jalan sama Teteh, jangan lupa Teteh dikasih helm ya, Bang,” Eneng mengedipkan mata kanannya.
        'Jangan kuatir, Neng,’ jawab Rojak dalam hati. ‘Siapapun itu jodoh Abang, akan Abang pakaikan helm, dan Abang jaga keselamatannya.’
Calon istri itu, pasangan hidup, sejiwa seirama. Orang kesayangan itu, si tulang rusuk, sudah selayaknya dijaga dan dipeluk, bukan dibikin remuk.

***

o    Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com