Saturday, June 29, 2013

Kardus Merah Kenangan

"Tulisan ini untuk ikut kompetisi @_PlotPoint: buku Catatan si Anak Magang Film "Cinta Dalam Kardus" yang tayang di bioskop mulai 13 Juni 2013."

Kardus Merah Kenangan
(427 words)




Chacha mengamati isi kardus itu dalam diam. Diraihnya boneka beruang putih kecil berkaus merah bertuliskan MIT. Massachusetts Institute of Technology. Tempat Rommy menuntut ilmu dan meraih bachelor degreenya. Tempat Rommy tinggal selama empat tahun, dan selama itu pula mereka berhubungan jarak jauh. Sebelum Rommy melanjutkan S2 ke Inggris. Dan setelah itu… hilang lenyap entah kemana.
Tiga tahun menunggu Rommy, mengharapkan kabarnya, mencari beritanya, menyebut namanya dalam doa, tetap tanpa hasil. Rommy seperti hilang ditelan bumi. Tanpa kabar berita. Hingga akhirnya Chacha memutuskan untuk melangkah. Melanjutkan hidupnya. Menjalani hari-harinya.
Dipeluknya boneka itu. Dulu, boneka ini selalu ada di kamar Chacha. Di meja tulisnya, tepat di samping meja computernya. Boneka ini menemaninya selama bertahun-tahun, menjadi saksi bisu saat Chacha menangis, merindukan Rommy setiap malam. Dan ini… Chacha mengambil bunga mawar plastik di dalam kardus. Hadiah dari Rommy saat Chacha diwisuda. Mug kartun, pemberian Rommy ketika Chacha berhasil mendapatkan pekerjaan pertamanya. Lalu miniatur pesawat terbang kesukaan Rommy. Rommy memang penggemar berat pesawat.
‘Setiap kali kamu kangen aku, ingat ada benda ini yang akan membawamu ketemu aku,’ begitu dulu katanya pada Chacha.
Ada juga beberapa frame foto, yang tadinya berisikan foto-foto mereka, tapi akhirnya hanya tinggal framenya, karena Chacha sudah merobek dan melenyapkan foto-foto di dalamnya.
“Cha? Lagi ngapain?”
Chacha tersentak. Terlalu kaget untuk menoleh.
“Kamu lagi beres-beres, ya?”
Chacha mengangguk sambil berusaha menyusut air matanya. Riyo tak boleh tau kalau…
“Sampai keringetan gini,” Riyo membelai pipi Chacha. “Jangan dipaksa ya, Cha. Kalau capek, istirahat dulu.”
Chacha hampir menangis lagi mendengar jawaban Riyo. Suaminya sangat memperhatikannya. Sementara dia, malah menangisi barang-barang pemberian mantannya. Mantan yang tak jelas di mana rimbanya. Ironisnya.
“Masih ada tiga bulan sebelum anak kita lahir, Cha. Kalaupun gudang ini nantinya ga bisa kosong tepat waktu, baby masih bisa tidur di kamar kita, kan?”
Chacha mengangguk, tanpa sanggup berkata-kata.
“Barang-barang bekas ini, disumbangkan ke Panti aja, Cha.”
“Apa?” Chacha terperangah. Panti Asuhan?
“Titip ke Bu Yati, beliau kan koordinator sumbangan ke Panti di Gereja kita.”
                “Oh. Iya.” Chacha mengangguk kecil. Menurut saja ketika Riyo menutup kardus dan menyelotipnya. Bahkan warna kardusnya pun merah, seperti hatinya yang pernah berdarah. Tapi saat ini, anggap saja merah itu melambangkan berani. Berani melupakan, dan berani melangkah.
                Akhirnya barang-barang itu pergi juga, batin Chacha. Sebagian hatiku, sebagian kecil saja, mungkin masih ada di situ. Separuh jiwaku, mungkin juga masih tertera nama itu. Tapi seperti apapun masa lalumu itu ada, namanya adalah “masa lalu”. Peristiwa yang sudah lalu. Sementara aku? Setelah bertahun-tahun menangisimu, mencarimu, berharap menemukanmu, mungkin harus berhenti. Sesekali merindukanmu, sudah cukup. Seperti hari ini. Selanjutnya, semoga tak pernah lagi.