Friday, June 13, 2014

Book Review : (Bukan) Salah Waktu


#BukanSalahWaktu karya Nastiti Denny (Penerbit : Bentang Pustaka, 2014, 248 pages)

(dalam 496 kata)
--------------------------------------

Memiliki keseluruhan cerita yang unik, tidak salah Bentang memilihnya menjadi pemenang lomba “Wanita Dalam Cerita”.
Temanya simpel, tapi dikemas dengan cantik. 
Runut dan kaya cerita.
Rahasia masa lalu, cerita kelam keluarga, sampai politik bisnis.
Kecemasan, ketidakjujuran, hingga isu perselingkuhan.

Alurnya maju, sehingga mudah dimengerti, walau ada sesekali kembali ke masa lalu.

Luka batin akibat kisah kelam keluarga, membuat Sekar menjadi sosok yang insecure. Orang tuanya kerap bertengkar, dan akhirnya berpisah. Ibunya tidak pernah ada di rumah, Ayahnya tidak peduli,  komplit membuat Sekar merasa tidak diinginkan.
Ironisnya, Sekar mencari rasa aman dengan bersembunyi di celah sempit, seperti di sela dinding atau lemari.

Salut dengan Sekar. Ia berani melepaskan karir cemerlangnya, demi menjadi ibu rumah tangga dan bersahabat dengan dengan kunyit, bawang dan mesin cuci.
Mungkin Sekar ingin menjadi berbeda dengan Ibunya, yang lebih mengutamakan karirnya dibanding keluarga.

Sementara Ibu Yani adalah sosok dominan yang kokoh di luar, tapi kosong di dalam. Kesedihan karena ditinggal mati oleh kedua anak kandung dan ketidakharmonisan dengan suami, membuatnya tidak kalah rapuh dengan Sekar.

Prabu digambarkan (maaf) plintat-plintut, bikin gemas.
Sebenarnya banyak masalah bisa selesai kalau Prabu bersikap lebih tegas.
Kenapa Prabu tidak berjuang mempertahankan Sekar, selain membiarkan Sekar memilih?
Kadang kita ingin melepaskan yang disayanginya supaya tidak menyakitinya lebih lama. Tapi ketika kita melepaskan, justru itulah yang paling menyakitkan bagi orang yang kita sayangi itu.
Fight for Sekar, Prabu! 

Oh iya, saya suka dengan nama Sekar Melati dan Prabu Satria, Indonesia sekaliJ



cover
Covernya bagus! Kombinasi merah dan putihnya asik. Simbol jam melambangkan waktu, yang kali ini (untungnya) tidak disalahkan. Hanya saja angka-angka terlalu ramai, kurang sesuai dengan aura cerita yang sedikit muram. Nah, jam menunjukkan (hampir) pukul dua belas, hanya kebetulan, atau ada arti tersendiri?



blurb
Blurb romantis dan penuh pita-pita, menjadi salah satu daya tarik novel ini. Tapi ternyata di bukunya, hampir tak ada kalimat bertabur cinta, kecuali notes berikut dari Prabu yang berhasil membuat meleleh. 


Nggak cocok, ya? Kasih tau, dong, cocoknya sama yang mana.

Nasi goreng paling wangi yang pernah aku tahu itu buatan istriku.

Saya menemukan beberapa “what if” di sini :        
  • Sudah dua tahun menikah, tapi kok Prabu tidak tau kalau orang tua Sekar sudah berpisah?
  • Kondisi psikologis Sekar tidak diulas lebih dalam. Misalnya bagaimana Prabu seharusnya menjadi orang yang bisa membuat Sekar merasa aman dengan masa lalunya sendiri. Chemistry Sekar dengan Wira juga kurang terasa. Bagaimana Sekar bisa menyayangi anak darah daging suaminya dengan wanita lain?
  • Sekar dan Prabu tak tampak senang dengan kehamilan Sekar, atau hanya saya yang tak dapat menangkap emosinya?
  • Nampak beberapa detil berlebih, seperti ukuran luas ruangan dan lay out rumah. Juga kisah tokoh pendukung yang dapat porsi, misalnya Mbok Ijah dengan riawayat rumah tangganya, dan Rei dengan problema pekerjaannya.
  • Laras yang menghilang, Miranda yang tidak jelas kabarnya (apakah ia marah pada Sekar?), Prabu yang tiba-tiba 'curhat' pada Rei, padahal Rei pernah mengkhianatinya.. Ah, novel ini  seakan terlalu cepat habis. 


Well, ini bukan sekedar cerita cinta-cintaan.
Tapi tentang menerima seutuhnya, kejujuran dan rasa percaya, juga tentang memaafkan.
Tentang memilih, antara mempertahankan ego atau berdamai dengan masa lalu.

Overall, suka dengan buku ini.
Mbak Nastiti, ditunggu novel berikutnya!