“Ta,
lo lagi dimana? Halo?”
Gue mendekatkan HP gue ke telinga.
“Apa? Berisik banget… Ga jelas suara
lo …”
“Lagi hujan, Lang…” sayup-sayup
suara Cinta terdengar. “Nanti lo telpon lagi, ya…”
Cinta menutup telpon. Gue menghela
napas. Ga jodoh banget ngobrol sama Cinta seharian ini. Pagi-pagi belum aktif,
siang ga diangkat, sore ga bisa dihubungi. Dan barusan, ketika sudah
tersambung, di sana sedang hujan. Mungkin lo bingung, apa hubungannya hujan
dengan tutup telpon. Apa karena hujan, lantas jadi berisik? Iya, itu juga. Tapi
alasan sebenarnya kenapa Cinta selalu menolak telpon pada saat hujan, gue ga
pernah tau.
*
* *
Gue
mengenal Cinta di pameran lukisan. Sehabis motret sebuah wedding ceremony di Conrad, gue langsung ke Ubud. Gue selalu suka
pameran lukisan di Museum Rudana. Ga cuma majang lukisan pelukis beken macam I
Nyoman Gunarsa, tapi juga pelukis-pelukis muda Indonesia yang belum pernah
kedengaran namanya, yang ternyata punya segudang bakat. Ga habis-habisnya bakat
baru lahir di negara ini.
Saat itu hujan. Deras, tapi ga
menghalangi orang-orang untuk tetap datang ke gallery ini. Dan disana, di teras samping, gue melihat Cinta untuk
pertama kalinya. Dia duduk menghadap luar, membelakangi gue. Rambut panjangnya
yang ikal, jatuh lemas di bahunya yang mungil.
Gue menghampiri, lalu berdiri di
sebelahnya. Penasaran sekali ingin melihat sosoknya dari dekat. Seorang gadis
yang manis, gue diam-diam melirik. Apa yang membuat gadis seistimewa ini begitu
serius melamun? Di tengah keramaian seperti ini? Sialnya, gue juga bukan orang
yang pandai memulai pembicaraan.
“Ehm…” Gue terbatuk kecil.
Dia melirik gue sekilas. Lalu
kembali menatap hujan.
Matanya! Mengingatkan gue akan
gemerlap bintang di salah satu foto gue yang mendapat penghargaan beberapa
bulan lalu. Sedang beruntung gue waktu itu, berhasil menangkap kilauan bintang
di tengah langit kota Bandung.
“Gue penggemar dia,” si manis itu
tau-tau bertutur. Suaranya begitu lembut, seayu parasnya.
“Siapa? Made Wianta?” Gue menyebut
nama salah satu pelukis kebanggaan Bali, yang lukisannya paling banyak dipajang
di gallery ini.
“Bukan. Hujan.”
“Hah?”
“Gue penggemar hujan. Banget.”
Wow. Gue tertegun. Baru pertama kali
mendengar ada orang yang mengagumi hujan. Aneh banget cewek ini.
“Kenapa?” Gue ga tahan untuk ga
bertanya.
“Buat gue, hujan itu…magis.
Logikanya hanya ritual air jatuh ke bawah. Tapi lo tau ga, kalau lewat hujan,
langit menyampaikan rindunya ke tanah?”
“Hah?” Gue bertanya bingung. Sehabis
itu, gue hampir menampar mulut gue sendiri. Dua kali “hah” dalam setengah menit
terakhir, sungguh bukan kesan yang ingin gue tampilkan ke gadis aneh nan
istimewa ini.
“Ada kekuatan yang memisahkan langit
dan bumi. Surga dan tanah. Dan hujan… adalah perantara mereka.”
Oh. Oke. Gue mengangguk, tanpa tau
makna sebenarnya dari kalimatnya barusan. Mungkin cewek ini penulis. Atau
penyair.
“Lukisan-lukisan di dalam bisa
menunggu. Tapi hujan ini…” Dia menggeleng, “ga bisa nunggu. Kalau beruntung,
besok dia datang lagi. Tapi bisa jadi baru minggu depan.”
* * *
Setelah
perjumpaan pertama itu, binar di sepasang mata bulat Cinta seringkali menari di
memori gue. Stupid, kenapa ga nanya
nomor telponnya?? Gue memang lemah banget kalau urusan yang satu ini. Kalau
dalam urusan pekerjaan, gue boleh bangga. Dari sejak kuliah, gue memang hobi
motret. Gue bisa menghasilkan foto-foto canggih. Angle-angle ajaib yang ga pernah bisa ditangkap orang. Antrian job pun semakin banyak, hingga gue terpaksa
harus menolak beberapa tawaran.
Tapi
dalam hal wanita,… gue ga pandai, kalau ga mau dibilang bodoh. Pengalaman
pacaran gue terakhir kali tiga tahun yang lalu, waktu hampir lulus kuliah.
Putus dengan tidak baik-baik. Si “dia” terbukti selingkuh dengan atasannya. Ajaib
memang. Kalau dulu gue begitu mencintainya hingga sanggup melakukan apapun
buatnya, sekarang, menyebut namanya aja gue ga sudi. Walaupun “dia” dan
keluarganya berulang kali mencoba minta maaf, buat gue semua itu bullshit.
Dan
gue sampai saat ini, masih memutuskan untuk sendiri. Bukan karena gue ga bisa
melupakan “dia”. Tapi karena pintu hati gue masih digembok, dan kuncinya gue
pegang sendiri. Ga pingin merasakan jatuh cinta lagi. Belum ingin menyayangi
orang sedalam itu lagi.
Sampai
gue… ketemu Cinta. Seingat gue, sampai saat ini, hanya Cinta yang bikin gue ga
bisa tidur. Cuma dia yang bikin gue penasaran sampai segitunya. Cuma Cinta yang
bikin gue menyesal setengah mati, karena ga minta nomor telponnya.
Nge-goblok-goblokin diri sendiri. Cinta dan kecintaannya pada hujan. Dan cerita
yang tersisip di baliknya.
Rasa
penasaran itu tak juga mau hilang. Lantas gue meng-googling dia. Bukan pekerjaan yang mudah. Keyword “Cinta” membuat ribuan artikel dan ucapan tentang cinta
yang keluar. Gue hampir putus asa. Menyadari cara itu tidak efektif, akhirnya
media sosial pun gue pakai untuk mencari dia. Twitter dan Facebook
menjadi dua aplikasi yang paling sering gue gunakan untuk mencari Cinta. Buat
orang non-sos-med seperti gue, ini makan waktu banget sebenarnya.
Untunglah akhirnya berbuah juga. Setelah dua
bulan mencari, akhirnya gue menemukan account
@cintalovesrain di Twitter. Tau ga,
apa avatar Cinta? Bayangan seorang gadis yang kehujanan. Waktu melihat avatar itu,
gue hampir melompat kegirangan. Kalau saja ga ingat saat itu sedang meeting
dengan EO buat sebuah acara wedding
seorang selebriti, pasti gue bakal mencium layar ipad gue berkali-kali tanpa ragu. Sayangnya account itu dikunci. Jadi gue harus ada di antrian orang-orang yang
ingin memfollow dia.
Me-mention Cinta, adalah satu-satunya cara
menghubunginya.
Hai @cintalovesrain, masih ingat gue? First met
you at Rudana, Ubud. Still love rain?
Dua
hari kemudian (iya, dua hari), dia membalas mention
gue.
Hi @elangerlangga , I’ll always love Rain,
indeed.
Selanjutnya,
berlanjut dengan dia meng-accept
permohonan follow gue, diikuti dengan
dia memfollow gue. Gue men-DM dia,
dan dia membalas DM gue. Gue menelpon dia, tapi dia tak pernah menelpon balik..
Gue mengirim pesan ke handphone nya, dia
juga tak membalas. Kecewa, lalu terbiasa. Tapi tak ingin berhenti begitu saja.
Banyak
yang misterius dari Cinta. Termasuk kecintaannya pada hujan. Pernah suatu kali
gue mengirim pesan ke HP nya. Baru dibalas tiga jam kemudian. Balasannya
singkat.
Sori baru balas. Lagi
menikmati hujan sedari sore.
Atau ketika gue menelponnya
berkali-kali, tapi berkali-kali juga harus ditutup karena di tempatnya sedang
turun hujan, dan Cinta tak ingin kehilangan moment
menikmati hujan. Walaupun penasaran setengah mati, gue ga pernah mencari tau. Gue
yakin, ada sesisip cerita misterius di balik itu. Yang mudah-mudahan suatu saat
akan dibaginya ke gue. Sekarang mungkin belum saatnya. Gue hanya perlu
bersabar.
*
* *
Gue
mencari foto Cinta di iphone gue.
Terakhir ketemu dia, dua bulan yang lalu, di Bali. Waktu itu, gue dapat project untuk motret wedding
ceremony di sana. Dean dan Amara. Pasangan bule dan Cina-Padang, yang
memutuskan married di kapel hotel
Nikko. Itu pertama kalinya gue motret di Wiwaha Chapel. Anjrit, keren banget
itu kapel. Mewah, tapi juga syahdu. Kayak ada sentuhan magisnya.
Karena waktu yang sempit, gue minta
Cinta datang juga ke kapel buat ketemu gue. Cinta pun sama noraknya dengan gue.
“Keren banget ya, Lang…” katanya
penuh kekaguman sambil mendesah.
“Lo tinggal di Bali, tapi belum
pernah kesini?”
“Belum, hehehe…” Cinta terkekeh.
“Belum pernah ada yang ngundang kesini. Lo sendiri, baru kali ini motret di
sini?”
Gue menggangguk.
“Iya. Biasanya orang masih lebih
milih Uluwatu atau Blue Point sekalian.”
“Itu juga keren.. by the way, ini resepsinya kapan?”
“Besok sore, di Dharmawangsa.
Makanya gue harus balik besok pagi.”
“Ah, ya. Coba lo bisa stay semalam lagi.”
Mata gue menyipit. “Memangnya ada
apa?”
“Ehmmm.. ada apa yaaa …” Cinta
menggantung kalimatnya.
“Mau ngajak ke Kudeta?” tebak gue,
menyebut nama salah satu tempat makan favorit di Bali.
“Hahaha.. bukan. Itu mah lo dah
bosen.”
“Kemana sih?” Gue mulai penasaran.
“Besok itu… hari spesial buat gue.”
Gue berusaha menyembunyikan
kekagetan gue.
“Lo.. ga ulang tahun, kan?” Gue
mengingat-ingat.
“Bukan.”
“Jadi apa?”
“Tunggu besok aja… Flight lo jam berapa?”
“First
flight..” Seketika gue menyesal sudah request
flight pagi. Lebih menyesal lagi karena tiket promo ini ga bisa diubah jam
nya.
“Lo nginep di sini?”
“Iya. Habis ini masih ada after party.”
“Kelar jam berapa?”
“Jam sembilanan. Tapi kali gue baru
kelar motret sampai jam sebelas. Mau candid-in
mereka dulu.”
“Hmmm.. kalau lo ga capek,…”
“Gue ga capek, Ta. Lo mau ajak gue
jalan malam ini?”
“Kalau lo bisa…”
“Bisa.”
“Hahaha lo tuh, main bisa-bisa aja.
Ya udah, kalau udah mau kelar, lo kabarin gue. Nanti gue jemput lo. Lo nginep
di sini kan?”
Gue menggangguk. Pasti tampang gue
berseri-seri banget sekarang. Diajak jalan sama Cinta? Cuma orang bodoh yang
bakal menolak.
*
* *
Hampir tengah malam ketika Cinta
tiba di lobby hotel. Entah kebetulan apa enggak, dia memakai baju yang sama
ketika pertama kali gue melihat dia. Rok lilit biru muda, dan kaos berenda
putih.
“Udah
kelar, Lang? Udah bisa cabut sekarang?”
“Yuk!”
jawab gue, sambil mengulurkan tangan meminta kunci mobil dari tangannya.
“Ga
usah. Biar gue yang nyetir.”
“Gue
aja, Ta. Udah malam, gelap.”
“Gapapa.
Gue biasa kok, nyetir malam. Tenang aja.”
Gue
mengikuti Cinta melangkah menuju mobilnya. Rintik hujan mulai turun.
“Hujan, Ta. Lo yakin mau nyetir?”
“Yakin. Hujan is my best friend, you know…”
Yeah,
like always. Hujan adalah cinta pertama Cinta.
Kegiatan apapun bisa dia hentikan demi menatapi hujan. Termasuk menutup telpon
gue. Berbicara dengan gue, ga ada apa-apanya dibanding si hujan. Dipikir-pikir
goblok juga ya. Cemburu kok sama hujan. Lo cemburu, Lang?
Ya. Gue cemburu. Sama hujan. Dan
cerita-cerita di baliknya, yang gue ga pernah tau. Tapi sepertinya begitu
berarti buat Cinta.
“Lo tau ga, Lang… gue bisa tenang
hanya dengan memandangi hujan. Mendengar air bersentuhan dengan tanah. Mencium
wangi dan aromanya. Itu… ga tergantikan dengan apapun.”
Oh. Sepertinya gadis manis di
sebelah gue ini akan bercerita banyak.
“Kenapa sih Ta, lo suka banget sama
hujan?”
Cinta menepikan mobilnya. Masuk ke
sebuah pekarangan.
“Kita turun?”
Cinta menggeleng.
“Enggak. Gue cuma pingin diam
dulu.”
Diam, sambil memandangi hujan, dan
mengacuhkan gue.
“Lo keberatan kalau gue cerita
sesuatu?”
Gue langsung menggeleng. Kalau lo
mau tau, sudah bertahun-tahun gue pingin mendengar cerita lo. Tentang hidup lo,
tentang apa aja, yang berhubungan sama lo. Juga tentang hujan, kata gue,
sayangnya hanya dalam hati.
“Cerita, Ta.”
Cinta mendehem. Sesekali
dimainkannya anak rambutnya yang ikal.
“Dulu sekali… pernah ada seseorang.
Rain namanya. Tetangga kecil gue di Bandung. Dari namanya aja, udah ketauan
betapa sukanya dia sama hujan,” Cinta mengawali ceritanya.
“Hampir tiap hari, dia main ke
rumah gue. Atau gue ke rumah dia. Main apa aja. Gundu. Congklak. Karet.
Kuartet. Bentengan. Apa aja. Gue bisa cerita apapun sama dia. Rahasia-rahasia
yang ga pernah gue kasih tau ke siapapun, termasuk bokap nyokap gue. Begitu juga sebaliknya.”
Cinta menghela napas sejenak.
“Rain suka banget sama hujan. Dari
kecil, tiap kali hujan, boro-boro berteduh, dia ngajak gue hujan-hujanan. Main
air. Mandi air hujan. Pertama-tama sih, gue takut masuk angin. Tapi lama-lama,
ketagihan. Tiap kali ada hujan, malah gue yang ngajak dia hujan-hujanan.
Rasanya seru banget, lepas, ga ada beban. Menurut Rain, dan gue sadari memang
iya, masalah apapun bisa larut dalam hujan,” Cinta melanjutkan dengan mata
menerawang.
“Jadi… apapun masalah lo, kegalauan
lo, bahkan air mata lo, bisa larut oleh hujan.” Cinta terdiam sejenak, lalu
melanjutkan.
“Waktu lulus SMP, Rain pindah, ikut
bokapnya yang kerja di perusahaan minyak. Ke pedalaman Kalimantan. Gue ga
pernah lagi ketemu sama dia sejak itu.”
Cinta menghapus embun di kaca
jendela mobilnya.
“Ga pernah email-emailan?” Gue
mencoba mencairkan suasana. Asli, gue ga suka dengan aura pembicaraan yang
suram ini.
“Ga bisa lagi… kecuali kalau ada
cara untuk kirim email ke surga.”
“Apa? Jadi….” Gue terkesiap.
“Dia meninggal tiga tahun setelah
pindah.”
What?
Why? Gue menahan diri untuk ga
bertanya.
“Dia…sakit. Demam berdarah.” Cinta menggeleng.
“Ga tau karena terlambat ditangani, atau karena apa. Berita itu baru gue
dengar, beberapa bulan setelahnya.”
Bibir mungil Cinta mengatup.
Matanya berkaca-kaca.
“Dia..pergi. Tanpa sempat pamit.
Terakhir kali telpon-telponan sama gue, dia cuma bilang.. ‘uap air akan bertemu
di langit, lalu menyatu dan turun ke bumi dalam bentuk air hujan. Jadi dimana
pun lo, dimana pun gue, ga masalah. Kalau salah satu ada yang kangen,
berharaplah hujan akan turun dan menyampaikannya’. Bodohnya, gue ga tau kalau
itu pesan terakhirnya.”
Jadi…itu sebabnya Cinta suka sekali
dengan hujan, pikir gue sambil memperhatikan hujan yang turun semakin deras.
“Sampai sekarang, kalau hujan
turun, gue selalu ingat dia. Rain yang sabar, Rain yang ngajarin gue untuk
memasrahkan segala sesuatu sama Yang Di Atas. Rain yang membentuk gue jadi
orang yang kuat.”
Cinta menangis sampai seluruh
tubuhnya bergetar. Gue belum pernah melihatnya seemosional ini. Cinta yang gue
kenal selalu tenang, bahkan cenderung datar. Poker face.
“Kalau kemarau datang, gue merasa
sedih. Lama ga akan ketemu hujan. Artinya Rain ga kangen sama gue. Mungkin dia
udah ngelupain gue.”
Cinta mengambil tissue dari laci
dashboard. Menyeka kedua matanya.
“Besok, seharusnya jadi hari ulang
tahun Rain.”
Jadi yang ingin dirayakan Cinta
bersama gue itu….
“Gue tadinya pingin traktir lo.
Merayakan birthday nya Rain. Hujan
lebat banget, dari tadi ga berhenti. Pas banget, ya?”
Gue terpana. Mencoba membayangkan
seberapa dalam perasaan Cinta ke seseorang bernama Rain ini. Dan…gue kecewa.
Ternyata si empunya hati yang tertutup itu, sudah ada pemiliknya, walaupun di
atas sana.
* * *
Akhirnya gue dan Cinta ngobrol
sampai hampir pagi. Hanya di mobil. Syukurlah naga-naga di perut keroncongan
gue lagi behave banget hari itu.
Hujan masih terus turun sepanjang malam. Udara dingin, tapi hati gue terasa
hangat. Dua tahun mengenal Cinta, belum pernah gue merasa sedekat itu
dengannya. Cinta adalah sosok misterius yang ga suka berbagi hal-hal pribadi,
terutama menyangkut perasaan. Selama
ini, Cinta paling suka cerita tentang hobi nya menulis puisi. Membaca buku-buku
dan tulisan Ayu Utami.
Malam
itu, sebenarnya cara Cinta merayakan
ulang tahun Rain terlihat sedikit aneh. Tapi gue ga keberatan. Gue melihat sisi
yang berbeda di diri Cinta. Sisi yang… sensitif, perasa, dan…lembut. Cinta yang
super tertutup, sedikit formal, seakan seluruh dirinya terkurung dalam ruangan
berdinding tebal. Akhirnya, dinding-dinding itu mulai runtuh, sedikit demi
sedikit. Ternyata, itu hanya awalnya.
*
* *
iPhone
gue berbunyi. Ada pesan masuk.
From : Cinta
Lang,
lo masih meeting?
Gue melirik Aryo, videographer partner motret gue yang
sedang serius diskusi dengan Venna, event organizer yang akan bekerja sama
dengan kami di big event malam ini.
“Yo, gue cabut sebentar,” pamit gue
sambil menepuk bahunya.
“Jangan lama-lama, bro. Habis ini ngomongin spot lo, ya.”
Gue mengganguk. Lalu berjalan
keluar, dan menekan angka 1, speed dial
nomor telpon Cinta.
“Halo?” Cinta menjawab pada deringan
pertama. Suaranya terdengar jauh.
“Hai, Ta. Kenapa? Lo tadi message gue?”
“Lo masih di Westin?”
“Iya. Lo dimana? Kok berisik
banget…”
“Lagi hujan di sini.”
“Oh. Ya udah, nanti kalau udah
berhenti, lo kabarin aja. Gue telpon lagi.”
Gue memutus sambungan. Mood gue langsung berubah. Ga tau sampai
kapan hujan akan terus jadi sandungan buat gue dan Cinta. Hhhh. Memangnya lo
siapa, Lang? Pacarnya Cinta? Lo bukan siapa-siapanya Cinta. Dia hidup dalam
dunianya sendiri, dengan cowok bernama Rain yang walaupun sudah berbeda dunia,
tapi tetap jadi juara di hatinya. Lo bukan siapa-siapa, Lang. Ga akan jadi
siapa-siapa.
Meeting siang itu masih berlanjut
dengan alot. Wedding event nanti
malam sengaja diselenggarakan bertepatan dengan new years eve. Jadi tamu-tamu resepsi dapat langsung bergabung di
pesta malam tahun baru. Di luar dugaan, artis ibukota yang akan menikah di Bali
dengan anak pejabat itu, ternyata pasangan yang asik. Berbeda dengan beberapa
pasangan selebriti yang menikah untuk kepentingan status, calon mempelai ini
kelihatan betul saling sayang. Sebagai seorang fotografer, walaupun masih
pemula, gue wajib menangkap emosi dari kedua orang yang ingin menikah. Dari
foto prewedd, sampai foto liputan
pernikahan mereka. Ga jarang gue melihat orang-orang yang menikah bukan karena
cinta, tapi karena kepentingan semata. Who
are you to judge, Erlangga? Mind your own business, please. You’re bad in
relationship. Why don’t you judge yourself?
Gue mengepalkan tangan. Kalau
mengingat telpon terakhir gue dengan Cinta tadi, emosi gue naik ke kepala.
Saingan kok sama alam, sama hujan. Hubungan macam apa ini.
Tiba-tiba gue tersentak. Kok gue
seperti melihat Cinta melintas di lobby hotel.
“Elang!”
Sosok itu melambai, memanggil nama
gue. Itu benar Cinta!
“Ta? Lo… ngapain di sini?”
“Gue mau bikin lo kaget. Lo kaget,
kan? Iya, kan?”
Cinta tertawa.
Gadis di depan gue ini kok… Seperti
ada yang berbeda.
“Errrr iya, gue kaget. Lo ngapain
tau-tau ada disini?”
“Gue ada annual meeting kantor.”
“Di Westin juga?”
“Enggak, di Novotel. Dari kemarin.”
“Dari kemarin lo di Nusa Dua? Lo kok
ga bilang?”
“Hahaha… Pingin kasih lo kejutan.
Nih, buat lo…”
Cinta menyodorkan sebuah kotak. Gue
langsung nyengir kuda begitu melihat isinya. Pia leggong coklat kesukaan gue,
yang biasanya harus rela antri demi mendapatkannya.
“Thanks,
Ta.”
Cinta mengangguk sambil tersenyum
riang.
“Jadi…
sampai kapan lo disini?”
“Nanti malam balik. Besok Papa sama
Mama mau main ke Kuta.”
Gue tertegun. Bertahun-tahun
mengenal Cinta, tak pernah sedikitpun ia bercerita tentang orang tuanya.
“Lo di sini dari kemarin, nanti
malam balik, dan lo baru kasih tau gue sekarang?” protes gue.
Cinta terkekeh lagi.
“Yaaaahh, lo kan lagi sibuk banget.”
Gue akan melakukan apapun buat ketemu
lo, Ta. Sesibuk apapun itu, bisik gue, lagi-lagi dalam hati.
“Gue kira lo yang sibuk. Gue telpon
lo dari kemarin lusa, ga aktif.”
“Simcard
gue rusak, Lang. Gue kan inform lo ke
Telkomsel,” alis Cinta bertaut tanda bingung.
Gue menepuk kening. “Telkomsel ada di handphone satunya yang…. ketinggalan di kost.”
“Hahaha.. pantas aja jadi ga
nyambung, Lang. Untung gue ingat lo ada event
di Westin pas malam tahun baru.”
Cinta memainkan rambut ikalnya.
“Lang, ini dekor buat nanti malam,
ya? Cantik banget…” desah Cinta sambil memandang pantai yang nampak putih
dipenuhi ribuan bunga lily.
“Bunga kesukaan Rachel, the bride.”
“Romantis banget ya, dekornya. Look at the aisle!” Cinta menunjuk
bagian pantai yang sudah disulap menjadi altar. Dipenuhi kursi-kursi kayu kecil
dengan untaian bunga lily di sampingnya. Belum lagi karpet putih dengan taburan
mawar putih di atasnya.
“Jadi nanti malam… Setelah
pemberkatan, akan ada pesta tahun baruan, ya?”
Gue mengangguk.
“Dan lo masih…. kerja?”
Gue mengangguk lagi, kali ini
anggukan malas.
“Sampai jam berapa?”
Gue menggeleng, “Sekelarnya,” jawab
gue. “Lo… mau ke sini nanti malam? Nanti gue antar lo balik ke Kuta.”
Cinta tidak menjawab. Gue pun diam.
Banyak banget yang ingin gue bilang, tapi semuanya hanya bisa bermain-main
dalam pikiran gue.
“Lang…. kenapa sih lo bisa sabar
banget?” tanya Cinta tiba-tiba, membuat gue terbelalak.
“Sabar…gimana, Ta?”
“Apa lo ga pernah tersinggung, kalau
gue lebih memilih hujan daripada lo?”
Uhuk! Gue terbatuk keras. Maksud lo,
kalau lo lebih milih memandangi hujan daripada ngobrol di telpon sama gue?
Gue mendehem. “Yah… kadang sih.”
Semprul! Gue memaki mulut gue
sendiri. Jujur aja Erlangga, lo lebih dari sekedar tersinggung. Lo marah!
Tiba-tiba telpon Cinta berbunyi.
“Lang, gue harus balik ke Novotel...”
katanya setelah menutup telpon. “Nanti malam… Kalau bisa, gue ke sini lagi. Gue
pingin banget … lihat pemberkatannya,” Cinta membereskan tasnya.
“Jangan terlalu pandai menyimpan
perasaan, Lang. Sebelum perasaan itu berbalik melukai lo, lo harus belajar
menyatakannya.”
Cinta mengucapkannya tanpa berani
menatap mata gue. Tapi kata-kata yang diucapkannya dengan jernih itu,
benar-benar menusuk hati gue, sampai ke bagian terdalam. Maksud lo… gue harus
menyatakan perasaan gue ke elo, Ta?
*
* *
Gue bukan orang melankolis. Tapi gue
bisa melihat kedua keluarga besar sangat mendukung kedua mempelai. Belum lagi
Michael dan Rachel, the groom and bride,
sepanjang acara tidak berhenti saling memandang sambil tersenyum. Bahkan orang
secuek gue pun bisa terharu dengan kesakralan sakramen ini.
Setelah selesai pemberkatan dan
ramah tamah dengan keluarga, tamu-tamu mulai berdatangan. Menghadiri perayaan
pernikahan, sekaligus memperingati acara tutup tahun. Rasanya gue tak berhenti
mengabadikan setiap senyum yang terkembang malam itu.
Sambil memotret puluhan terompet
yang berbaris rapi di meja sudut, mata gue mulai sibuk mencari sosok Cinta.
Kemana ya, gadis itu? Bukankah tadi dia berjanji akan datang?
Hampir empat jam kemudian, gue berjalan
menjauh dan duduk di salah satu kursi kayu di pantai. Keriangan pesta masih
nyaring di sudut sebelah sana.
“Lang….”
Gue membalikkan badan dengan cepat.
Nampak Cinta berjalan pelan menghampiri, sambil menenteng alas kaki. Sementara
mata kakinya sendiri sudah terbenam di pasir.
“Ta? Lo udah lama di sini?”
“Lumayan.”
“Katanya mau lihat pembekatan
pernikahannya?”
“Hehehe.. tadi gue telat. Kelar
meeting terus beberes di Novotel, tau-tau udah gelap aja. Pas tiba di sini,
udah mulai partynya.”
“Kenapa ga ke sana aja?”
“Gue ga suka party-party gitu, Lang. Bising. Gue lebih suka… hening.”
Gue mengangguk, mengerti sepenuhnya.
Gue pun sama. Hanya pekerjaan dan profesionalisme yang mengharuskan gue berada
di pesta-pesta besar semacam itu.
“Jadi daripada gue malah ganggu lo
di pesta itu, mending gue tunggu aja sampai selesai.”
“Ini gue minta break
sebentar karena mumet,” gue memijit kening yang tiba-tiba pening.
“Lo sakit, Lang?”
Gue ingin menggeleng, tapi batal
begitu melihat mata Cinta yang penuh kecemasan. Kalau Cinta jadi perhatian sama
gue, kenapa harus menolak sakit?
“Mungkin lo kecapekan, Lang.”
“Ta… soal kata-kata lo tadi siang….”
Gue menelan ludah lagi. “Soal perasaan yang ga pernah dikatakan…”
Cinta tak menjawab. Ia hanya diam
sambil menatap pantai yang semakin gelap. Rintik hujan mulai turun satu-satu.
“Hujan,
Ta.”
Cinta
mengangguk. Tersenyum.
“Iya,
Lang. Hujan. Mendung seharian, akhirnya turun juga.”
“Hujan
selalu punya arti ya Ta, buat lo.”
Cinta
menghela napas. “Sampai kapan lo mau begini, Lang?”
Gue
pura-pura tenang. Padahal jantung gue berdetak jauh lebih cepat dibanding
biasa.
“Maksud
lo?”
“Sampai
kapan lo mau mengalah sama hujan? Sampai kapan lo mau sabar menunggu?”
Gue
tersentak. Pembicaraan ini nampaknya….
“Kalau
lo sadar, sebulan terakhir ini, gue ga pernah mendahulukan hujan dibanding lo.
Tadi waktu lo telpon gue dan lagi hujan, gue ga minta lo menunggu. Tapi lo yang
langsung mutusin telponnya.”
Benar.
Memang itu yang gue lakukan. Gue memilih mengalah daripada terlanjur kalah.
“Lo..
sayang sama gue, Lang?” Cinta bertanya. Gue memandang kedua matanya yang
berpendar lembut seperti ribuan bintang.
Hati
gue mengangguk ribuan kali, tapi mulut gue seperti terkunci. Akhirnya gue
mengangguk.
“Bilang, Erlangga. Gue mau dengar langsung
dari mulut lo.”
Gue menelan ludah.
“Gue.. gue sa..yang sama lo, Ta.” Ah
sial! Suasana sudah super mendukung gini aja, gue masih gugup juga!
Cinta mulai tersenyum.
“Lo tau ga Lang, sudah berapa lama
gue menunggu lo mengatakan itu?”
Gue menyeka kening gue yang
berkeringat.
“Ta..tapi.. lo.. lo masih
tergila-gila sama hujan kan, Ta.”
“Gue memang jatuh cinta sama hujan,
Lang. Bahkan kali ini pun, saat gue sudah memutuskan untuk move on, gue masih senang lihat hujan. Hujan selalu membawa
kedamaian buat gue.”
Apa kata Cinta tadi? Dia memutuskan
untuk move on?
“Rain mengajarkan gue cara menikmati
hujan. Dengan berdiam di bawahnya. Tapi lo, mengajarkan gue kesabaran menunggu
hujan reda.”
Cinta tersenyum menatap gue.
“Cuma sama lo, gue bisa berbagi
cerita gue tentang hujan. Dan mungkin dari semua orang di dunia ini, cuma lo
yang bisa mengerti. Atau setidaknya berusaha mengerti.”
Gue menahan diri untuk tidak
merapikan anak rambut Cinta yang tersebar di keningnya, walaupun gue sangat
ingin melakukannya.
“Malam itu, saat gue cerita sama lo
soal Rain, gue udah bertekad, Lang. Cukup empat tahun gue terkurung di dunia
gue sediri. Gue… pingin melangkah, Lang. Pingin jalan. Pingin move on. Ga pingin mengakar terus di
pikiran gue sendiri tentang Rain.”
Cinta membuka telapak tangannya,
seolah ingin menangkap rintik hujan.
“Rain itu cuma kenangan, tapi lo itu
kenyataan. Cuma lo yang sabar dengan
kegilaan gue sama hujan. Dari situ gue tau, rasa sayang lo ke gue, lebih besar
dari rasa sayang gue ke hujan.”
Cinta menatap gue.
“Tolong perjuangin gue ya, Lang.
Jangan menjadi terlalu sabar kali ini.”
Gue balik menatap dia. Sepasang mata
bulat penuh binar, yang sangat gue kagumi.
Pelan, gue memberanikan diri menggenggam
tangan Cinta. Cinta balas menggenggam tangan gue.
Gue ga pandai bermain kata. Tapi
kali ini, gue memberanikan diri melihat Cinta, tepat di manik matanya. “Gue…
cin.. cinta sama lo.”
Sedetik sesudahnya, bunyi terompet terdengar
riuh, disusul bunyi petasan yang meninggalkan kerlip warna-warni di langit.
Pertanda pergantian tahun.
“Apa tadi lo bilang, Lang? Ga
kedengaran…” Cinta berteriak sambil berusaha mengalahkan suara petasan.
Gue menghembuskan napas. Nampaknya
gue harus bilang sekali lagi. “Gue… cinta sama lo, Cinta.”
“Apa?” Cinta mendekatkan telinganya ke
arah gue.
“Gue cinta sama lo…” sedikit
berteriak, gue mendekatkan diri ke wajahnya.
Cinta tertawa. “Gue juga,” katanya
sambil mengecup pipi gue. “Selamat tahun baru, Erlangga.”
Gue tersenyum lebar. Senyum yang
menular sampai ke hati gue.
“Gue janji, Lang. Ga akan
bela-belain nonton hujan dibanding telponan sama lo.”
“Gue juga janji, Ta. Bakal bikin
hujan yang lebih spesial buat lo.”
Cinta tertawa lagi. Hadiah tahun
baru paling indah, seumur hidup gue.
* * *
Karena cinta, mungkin belum utuh jika belum diucapkan.
1 comment:
C'Diannn..saya juga suka ujan ;)
Post a Comment