Thursday, July 25, 2013

Damainya Ramadhan



Untuk teman2 baik hati yang menagih cerita ini ditulis di blog, silakan:)
Terima kasih rekan2 Kampung Fiksi yang udah membuat cerita ini begitu berarti!
Selamat Berpuasa semuanya :)

Damainya Ramadhan


            “Bu, nanti malam saya boleh taraweh?” tanya Ipah, salah satu pengasuh anakku.
            “Jam piro, Pah?”
            “Jam tujuh, Bu.”
            Aku mengutak-atik smartphoneku. Mengintip jadwal padatku seharian ini. Hmmm, ada meeting finalisasi policy jam tiga nanti. Ga mungkin aku ga hadir, secara sangat terkait dengan pekerjaanku. Sepertinya akan sulit pulang tenggo. Di jadwal memang hanya dua jam, tapi pelaksanaannya bisa molor sampai empat jam.
         “Saya ada meeting sore, Pah. Tapi nanti saya lihat, ya. Kalau udah kelar meetingnya, saya langsung pulang, deh. Semoga kamu keburu taraweh.”
            Ipah mengucapkan terima kasih, lalu pamit keluar dari kamarku.
           Aku menghela napas. Di bulan Ramadhan ini, memang ada beberapa kebiasaan di rumah yang berubah. Misalnya, jam tiga pagi, sudah terdengar bunyi kelontang-kelonteng dari arah dapur. Mbak-Mbak di rumah sedang menyiapkan makanan untuk sahur. Lalu yang kedua, sebelum puasa, Mbak-Mbak di rumahku ini biasa lanjut kerja setelah anak-anak tidur bersamaku dan ayahnya. Tapi di bulan puasa ini, setelah anak-anak tidur, mereka pun beristirahat. Baju kotor pun menumpuk, begitu juga dengan baju kering yang belum disetrika.
Biasanya, ketika aku bangun di setiap jam lima pagi, aku selalu melihat Bu Yun, yang bertugas bersih-bersih rumah dan memasak, sedang menyapu lantai 1. Sementara Tikna mencuci baju anak-anak, dan Ipah menyetrika atau membereskan mainan anak-anak. Memasuki bulan puasa, aku hampir selalu menemukan rumah dalam keadaan gelap, ketika bangun pagi. Lampu depan belum dimatikan, sementara lampu dalam belum menyala, dan kaca-kaca jendela masih tertutup. Wah, ternyata Bu Yun, Tikna dan Ipah, tidur lagi setelah sahur. Dan baru terbangun sekitar jam lima tiga puluh.
Tak hanya itu. Selama puasa, mereka bertiga ganti-gantian sakit dan masuk angin. Belum lagi sesekali tertidur ketika bekerja, dan terlihat lemas sepanjang hari. Plus permintaan taraweh yang menyebabkan aku harus berusaha pulang lebih awal setiap hari selama sebulan ini.
Aku berusaha memaklumi. Namanya juga bulan puasa. Umat muslim harus menahan haus dan lapar seharian. Kebayang pasti susahnya minta ampun. Aku aja yang umat Kristiani dan hanya pantang setiap hari Jumat selama masa Prapaskah, merasakan susahnya menahan diri untuk melakukan hal-hal yang kita sukai namun bertekad untuk kita kurangi. Aku super salut dengan kawan-kawan muslim yang bisa menahan diri tidak makan, tidak minum, terlebih lagi menahan emosi untuk tidak marah dan merasa benci. Karenanya, aku mengerti kalau Mbak-Mbak di rumah agak berubah selama bulan puasa ini. Walaupun terus terang, aku agak terganggu dengan kinerja mereka yang menurun. Tapi selama semua masih bisa ditoleransi dan tidak keterlaluan, aku berusaha mengerti.
        Suatu sore, sebelum semuanya menjadi semakin riweh, aku memanggil Bu Yun, Tikna dan Ipah, lalu mengajak mereka bicara.
            “Bu Yun, Tikna dan Ipah, kalian kan punya tanggung jawab masing-masing. Bu Yun bersih-bersih rumah. Tikna dan Ipah jaga anak. Jadi terus terang, saya agak keberatan kalau sepanjang hari kalian kelihatan lemas dan jadi gampang sakit. Namanya jaga anak, harus selalu fit dan gerak cepat. Tau sendiri kan, Chris dan Laura lagi aktif-aktifnya, ga bisa diam,” kataku menyebut nama kedua anak batitaku, yang sedang senang-senangnya berjalan dan berlari.
            Aku mengamati ketiga orang di hadapanku. Ketiganya memperhatikan aku dengan raut muka datar yang tak tertebak.
            “Saya mengerti kalau kalian lagi puasa, pasti stamina menurun. Tapi saya minta tolong aja, kalau ga kuat atau sakit, jangan dipaksa puasa,” aku mewanti-wanti. “Daripada sakit berkepanjangan, nanti anak-anak ketularan, kasihan mereka.”
            Aku mengeluarkan botol kecil dari tasku.
            “Tadi saya beli vitamin, kalian makan ya. Selama bulan puasa ini, buat bantu jaga kesehatan.”
            Mereka mengangguk.
        “Kalau masalah taraweh, saya usahakan ga pulang malam sebulan ini, jadi keburu kalau kalian mau taraweh. Tapi kalau bisa, jangan barengan tarawehnya ya, gantian, jadi ada satu yang bantu saya ngeliatin anak-anak.”
            Tikna mengangguk, diikuti dengan Bu Yun. Ipah masih diam terpekur.
            “Pah? Kamu gimana, ga papa, kan?”
            “Gapapa, Bu,” jawab Ipah.
          Fiuh, aku menghela napas lega. Semoga dari saat ini sampai setelah Lebaran, keadaan kembali seperti semula.
* * *
         Aku menerima kertas menu yang diberikan pelayan. Menoleh ke Ipah yang sedang menggendong si bungsu.
       “Pah, saya mau makan dulu. Kamu mau tunggu di luar aja? Biar Laura sama saya,” kataku sambil mengulurkan tangan untuk menggendong anak bungsuku.
            “Ga usah toh, Bu.”
            “Saya bisa gantian makan sama Bapak, kok. Daripada kamu melihat saya makan.”
            Ipah menggeleng. “Gapapa, Bu. Ibu makan aja.”
            “Duh, saya ga tega makan di depan kamu, Pah. Kamu kan lagi puasa.”
           Ipah menggeleng. “Saya puasa dari SD, Bu, walau masih setengah hari. Sejak umur sembilan tahun, saya udah puasa penuh.”
            “Kamu mau nunggu di luar aja, Pah?” Aku menunjuk kursi rotan yang terletak di depan tempat makan itu.
            “Ga usah, Bu. Nanti Laura ga ada yang jaga, malah Ibu repot.”
            Aku mendelik. Di saat puasa, seharian menahan lapar, Ipah masih memikirkan aku. Ia tak keberatan aku makan di hadapannya. Malah ia menolak ketika aku minta tunggu di luar.
            Malamnya, aku memanggil Ipah dan mengajaknya bicara.
            “Pah, makasih, ya,” kataku.
            “Makasih apanya, Bu?”
            “Makasih kamu masih mau bantuin saya jaga anak-anak sebaik mungkin. Tau ga Pah, di kantor saya tuh, banyak banget Ibu-Ibu yang mengeluh. Sejak bulan puasa, Mbak-mbak di rumahnya pada berubah. Bukan cuma ngantuk dan lemas sepanjang siang, tapi juga kesal kalau ada orang yang makan di depannya.”
            “Hahaha, itu mah puasanya ga ridho, Bu. Orang puasa itu artinya menahan napsu makan, napsu marah, napsu ngomongin orang. Jadi kita yang harus menahan napsu, bukan orang lain yang nahan diri supaya ga bikin kita marah.”
            Aku mengangguk. “Yang begitu yang benar ya, Pah?”
           “Makanya aneh tuh berita-berita di TV, Bu. Moso orang puasa, terus orang lain ga boleh makan? Ga boleh jualan? Islam itu ga begitu, Bu. Agama Islam itu penuh toleransi sama agama lain,” Ipah menjelaskan.
            Aku tersenyum, percaya sepenuhnya kepadanya.
         “Hebat kamu, Pah. Salut saya. Udah puasa seharian, ga makan, ga minum, masih tetap semangat aja sampai malam begini.”
         “Makasih juga, Bu. Ibu ngijinin Ipah taraweh. Teman-teman Ipah ga ada yang sempat taraweh. Majikannya pulang malam terus. Ibu kan rela pulang cepat supaya Ipah dan Mbak Tikna keburu ke Mesjid.”
         Belum selesai aku mencerna kalimatnya, Ipah melanjutkan, “Apalagi Ibu sampai kasih vitamin ke Ipah. Selama Ipah kerja tahunan, belum ada majikan yang mikirin kesehatan Ipah sampai segitunya, Bu. Baru Ibu aja. Biasanya majikan mah yang penting beres, terserah mau makan apa, mau puasa atau enggak.” Ipah menjelaskan dengan penuh semangat.
            “Ibu ga usah kuatir. Habis Lebaran nanti, Ipah pasti balik jagain Laura lagi,” katanya ringan.
          Bagai disiram air dingin, asap di kepalaku langsung padam. Kalimat Ipah barusan, sudah mengusir rasa cemas dan kuatirku, mengingat susahnya mencari pengasuh yang cocok dengan anak-anakku. Sebagian toleransi, ditambah sedikit apresiasi, ternyata membuat bulan puasa ini jadi jauh lebih indah dan bermakna. Ramadhan kali ini benar-benar damai.

* * *














            

No comments: