Untuk teman2 baik hati yang menagih cerita ini ditulis di blog, silakan:)
Terima kasih rekan2 Kampung Fiksi yang udah membuat cerita ini begitu berarti!
Selamat Berpuasa semuanya :)
Damainya
Ramadhan
“Bu, nanti malam saya boleh
taraweh?” tanya Ipah, salah satu pengasuh anakku.
“Jam piro, Pah?”
“Jam tujuh, Bu.”
Aku mengutak-atik smartphoneku. Mengintip jadwal padatku
seharian ini. Hmmm, ada meeting finalisasi policy
jam tiga nanti. Ga mungkin aku ga hadir, secara sangat terkait dengan
pekerjaanku. Sepertinya akan sulit pulang tenggo. Di jadwal memang hanya dua
jam, tapi pelaksanaannya bisa molor sampai empat jam.
“Saya ada meeting sore, Pah. Tapi nanti saya lihat, ya. Kalau udah kelar
meetingnya, saya langsung pulang, deh. Semoga kamu keburu taraweh.”
Ipah mengucapkan terima kasih, lalu
pamit keluar dari kamarku.
Aku menghela napas. Di bulan
Ramadhan ini, memang ada beberapa kebiasaan di rumah yang berubah. Misalnya,
jam tiga pagi, sudah terdengar bunyi kelontang-kelonteng dari arah dapur.
Mbak-Mbak di rumah sedang menyiapkan makanan untuk sahur. Lalu yang kedua,
sebelum puasa, Mbak-Mbak di rumahku ini biasa lanjut kerja setelah anak-anak
tidur bersamaku dan ayahnya. Tapi di bulan puasa ini, setelah anak-anak tidur,
mereka pun beristirahat. Baju kotor pun menumpuk, begitu juga dengan baju
kering yang belum disetrika.
Biasanya,
ketika aku bangun di setiap jam lima pagi, aku selalu melihat Bu Yun, yang
bertugas bersih-bersih rumah dan memasak, sedang menyapu lantai 1. Sementara
Tikna mencuci baju anak-anak, dan Ipah menyetrika atau membereskan mainan
anak-anak. Memasuki bulan puasa, aku hampir selalu menemukan rumah dalam
keadaan gelap, ketika bangun pagi. Lampu depan belum dimatikan, sementara lampu
dalam belum menyala, dan kaca-kaca jendela masih tertutup. Wah, ternyata Bu
Yun, Tikna dan Ipah, tidur lagi setelah sahur. Dan baru terbangun sekitar jam
lima tiga puluh.
Tak hanya
itu. Selama puasa, mereka bertiga ganti-gantian sakit dan masuk angin. Belum
lagi sesekali tertidur ketika bekerja, dan terlihat lemas sepanjang hari. Plus
permintaan taraweh yang menyebabkan aku harus berusaha pulang lebih awal setiap
hari selama sebulan ini.
Aku berusaha
memaklumi. Namanya juga bulan puasa. Umat muslim harus menahan haus dan lapar
seharian. Kebayang pasti susahnya minta ampun. Aku aja yang umat Kristiani dan
hanya pantang setiap hari Jumat selama masa Prapaskah, merasakan susahnya
menahan diri untuk melakukan hal-hal yang kita sukai namun bertekad untuk kita
kurangi. Aku super salut dengan kawan-kawan muslim yang bisa menahan diri tidak
makan, tidak minum, terlebih lagi menahan emosi untuk tidak marah dan merasa
benci. Karenanya, aku mengerti kalau Mbak-Mbak di rumah agak berubah selama bulan
puasa ini. Walaupun terus terang, aku agak terganggu dengan kinerja mereka yang
menurun. Tapi selama semua masih bisa ditoleransi dan tidak keterlaluan, aku
berusaha mengerti.
Suatu sore, sebelum semuanya menjadi
semakin riweh, aku memanggil Bu Yun, Tikna dan Ipah, lalu mengajak mereka
bicara.
“Bu Yun, Tikna dan Ipah, kalian kan
punya tanggung jawab masing-masing. Bu Yun bersih-bersih rumah. Tikna dan Ipah
jaga anak. Jadi terus terang, saya agak keberatan kalau sepanjang hari kalian
kelihatan lemas dan jadi gampang sakit. Namanya jaga anak, harus selalu fit dan
gerak cepat. Tau sendiri kan, Chris dan Laura lagi aktif-aktifnya, ga bisa
diam,” kataku menyebut nama kedua anak batitaku, yang sedang senang-senangnya
berjalan dan berlari.
Aku mengamati ketiga orang di
hadapanku. Ketiganya memperhatikan aku dengan raut muka datar yang tak
tertebak.
“Saya mengerti kalau kalian lagi
puasa, pasti stamina menurun. Tapi saya minta tolong aja, kalau ga kuat atau
sakit, jangan dipaksa puasa,” aku mewanti-wanti. “Daripada sakit
berkepanjangan, nanti anak-anak ketularan, kasihan mereka.”
Aku mengeluarkan botol kecil dari
tasku.
“Tadi saya beli vitamin, kalian
makan ya. Selama bulan puasa ini, buat bantu jaga kesehatan.”
Mereka mengangguk.
“Kalau masalah taraweh, saya
usahakan ga pulang malam sebulan ini, jadi keburu kalau kalian mau taraweh.
Tapi kalau bisa, jangan barengan tarawehnya ya, gantian, jadi ada satu yang
bantu saya ngeliatin anak-anak.”
Tikna mengangguk, diikuti dengan Bu
Yun. Ipah masih diam terpekur.
“Pah? Kamu gimana, ga papa, kan?”
“Gapapa, Bu,” jawab Ipah.
Fiuh, aku menghela napas lega.
Semoga dari saat ini sampai setelah Lebaran, keadaan kembali seperti semula.
* * *
Aku menerima kertas menu yang
diberikan pelayan. Menoleh ke Ipah yang sedang menggendong si bungsu.
“Pah, saya mau makan dulu. Kamu mau
tunggu di luar aja? Biar Laura sama saya,” kataku sambil mengulurkan tangan
untuk menggendong anak bungsuku.
“Ga usah toh, Bu.”
“Saya bisa gantian makan sama Bapak,
kok. Daripada kamu melihat saya makan.”
Ipah menggeleng. “Gapapa, Bu. Ibu
makan aja.”
“Duh, saya ga tega makan di depan
kamu, Pah. Kamu kan lagi puasa.”
Ipah menggeleng. “Saya puasa dari
SD, Bu, walau masih setengah hari. Sejak umur sembilan tahun, saya udah puasa
penuh.”
“Kamu mau nunggu di luar aja, Pah?”
Aku menunjuk kursi rotan yang terletak di depan tempat makan itu.
“Ga usah, Bu. Nanti Laura ga ada
yang jaga, malah Ibu repot.”
Aku mendelik. Di saat puasa,
seharian menahan lapar, Ipah masih memikirkan aku. Ia tak keberatan aku makan
di hadapannya. Malah ia menolak ketika aku minta tunggu di luar.
Malamnya, aku memanggil Ipah dan
mengajaknya bicara.
“Pah, makasih, ya,” kataku.
“Makasih apanya, Bu?”
“Makasih kamu masih mau bantuin saya
jaga anak-anak sebaik mungkin. Tau ga Pah, di kantor saya tuh, banyak banget
Ibu-Ibu yang mengeluh. Sejak bulan puasa, Mbak-mbak di rumahnya pada berubah.
Bukan cuma ngantuk dan lemas sepanjang siang, tapi juga kesal kalau ada orang
yang makan di depannya.”
“Hahaha, itu mah puasanya ga ridho,
Bu. Orang puasa itu artinya menahan napsu makan, napsu marah, napsu ngomongin
orang. Jadi kita yang harus menahan napsu, bukan orang lain yang nahan diri
supaya ga bikin kita marah.”
Aku mengangguk. “Yang begitu yang
benar ya, Pah?”
“Makanya aneh tuh berita-berita di
TV, Bu. Moso orang puasa, terus orang
lain ga boleh makan? Ga boleh jualan? Islam itu ga begitu, Bu. Agama Islam itu
penuh toleransi sama agama lain,” Ipah menjelaskan.
Aku tersenyum, percaya sepenuhnya
kepadanya.
“Hebat kamu, Pah. Salut saya. Udah
puasa seharian, ga makan, ga minum, masih tetap semangat aja sampai malam
begini.”
“Makasih juga, Bu. Ibu ngijinin Ipah
taraweh. Teman-teman Ipah ga ada yang sempat taraweh. Majikannya pulang malam
terus. Ibu kan rela pulang cepat supaya Ipah dan Mbak Tikna keburu ke Mesjid.”
Belum selesai aku mencerna
kalimatnya, Ipah melanjutkan, “Apalagi Ibu sampai kasih vitamin ke Ipah. Selama
Ipah kerja tahunan, belum ada majikan yang mikirin kesehatan Ipah sampai
segitunya, Bu. Baru Ibu aja. Biasanya majikan mah yang penting beres, terserah mau makan apa, mau puasa atau
enggak.” Ipah menjelaskan dengan penuh semangat.
“Ibu ga usah kuatir. Habis Lebaran
nanti, Ipah pasti balik jagain Laura lagi,” katanya ringan.
Bagai disiram air dingin, asap di
kepalaku langsung padam. Kalimat Ipah barusan, sudah mengusir rasa cemas dan
kuatirku, mengingat susahnya mencari pengasuh yang cocok dengan anak-anakku.
Sebagian toleransi, ditambah sedikit apresiasi, ternyata membuat bulan puasa
ini jadi jauh lebih indah dan bermakna. Ramadhan kali ini benar-benar damai.
* * *