#SabtuBersamaBapak
mungkin adalah buku terbaik yang gue baca di 2014.
Atau buku terbaik yang
pernah gue baca, selama ini? :)
Sabtu Bersama Bapak
Adhitya Mulya, Gagas Media, 277 pages
Cetakan 1 - 7 : 2014
Gue sukaaaaa banget
buku Kang Adhit ini. Kenapa ya?
Satu, originalitas idenya,
beda dari yang lain.
Sebenarnya simple sih,
bagaimana seorang Bapak, bisa mengajarkan anak-anaknya tentang hidup. Tentang
menjadi kepala keluarga, tentang menjadi suami, tentang menjadi Ayah. Tentang
beragam nilai kehidupan.
Tapi menjadi tidak simple,
karena Sang Bapak di buku ini, digambarkan sudah meninggal.
Sejak mengetahui
dirinya sakit kanker dan tidak bisa hidup lebih lama lagi, Bapak mengabadikan
dirinya lewat handycam. Banyak cerita,
pesan dan pelajaaran yang direkam Bapak, supaya bisa disaksikan anak-anaknya.
Rekaman pertama kali
dibuat tahun 1991, dan disaksikan anak-anak 2 tahun setelahnya.
Dari mereka kecil, setiap hari Sabtu. Sabtu Bersama Bapak.
Dua, setting.
Kombinasi dari alur maju dan flashback, tapi ga bikin bingung.Settingnya sederhana!
Sedikit di Bandung,
sedikit di Jakarta, sedikit di Denmark, sedikit di offshore.
Banyak tempat, tapi ga
bikin bingung. Walopun saya berharap ada lebih banyak ulasan tentang
Denmarknya, hahaha:p
Tiga, penokohan.
Kayaknya semua tokoh di
buku ini begitu apa adanya.
Wajar, tidak
berlebihan, semua pas pada porsinya.
Tokoh Bapak yang sudah
meninggal, tetap terasa hidup di buku ini. Bapak adalah tokoh yang sudah banyak
makan asam garam kehidupan. Ia menasihati anak-anak mulai dari hal-hal kecil,
seperti membuat mainan (lebih bagus dari beli), tentang harga diri, tentang
membela yang benar, dan bukan membela yang dekat.
Saya kagum bagaimana
Bapak menyiapkan kebutuhan keluarganya, menjelang ia meninggal. Rasa tanggung
jawabya pada keluarga dan anak-anak, memenuhi kebutuhan keluarga tidak hanya
dari segi materi, tapi juga ajaran hidup.
Ibu Itje yang
sederhana, pekerja keras dan tidak mau merepotkan. Berkali-kali saya mrebes mili, waktu Ibu Itje yang sakit
dan harus dioperasi, tapi kekeuh tidak mau memberitahukan anak-anaknya, dengan
alasan “Kakang tau kenapa”, yaitu karena tidak ingin merepotkan anak-anaknya.
Ibu Itje yang tabah,
kuat dan begitu sayang sama keluarga.
Satya, si Offshore Engineer yang tegas,
gagah, keras, dan percaya diri, ternyata masih harus belajar tentang bagaimana menerima. Istri yang tidak terlalu bisa
memasak, anak-anak yang ribut, dan rumah yang selalu berantakan. Si Kakang
masih harus belajar berusaha menghargai orang-orang yang disayanginya. Dengan
meninggikan kadar toleransi, juga dengan berbenah diri sendiri.
Kakang yang galak ini,
ternyata sayang setengah mati sama Mamahnya (jadi pingin mewek..)
Cakra (alias Saka), si
bungsu berusia awal tiga puluhan, si Deputy Director divisi Microfinance sebuah
bank asing, yang sudah didoakan semua orang supaya segera mendapat jodoh. Terbenam
di balik bayang-bayang Kakang, mungkin ini menyebabkan Saka menjadi tidak PD
dalam berhubungan dengan wanita. Tapi seperti kata Bapak dalam salah satu
videonya, kalau bukan kita yang bisa
menghrgai diri kita sendiri, siapa lagi?
Sama seperti Kakang,
Saka pun punya nilai-nilai yang baik, sesuai ajaran Bapak. Hanya hokinya aja
agak kurang dikit, secara ditolak melulu sama perempuan, hehehe:p
Satu-satunya bagian
kecil yang menurut saya agak mengambil porsi terlalu banyak, hanyalah percakapan
konyol Saka dan kawan-kawan kantornya. Tapi itu minor, dan bikin saya
ketawa-tawa juga pada akhirnya hehehe…
Rissa dan Ayu, juga
memiliki porsi pas di buku ini.
Saya kagum sama tokoh
Rissa. Cantik, berpendidikan baik, dari keluarga baik-baik pula. Ditinggal
suami, mengurus 3 buah hati yang super energik, ngurus rumah, masak, kerja
kecil-kecilan dari rumah untuk ikut bantu keluarganya, dan tetap berusaha
tampil cantik untuk suaminya.
Nemu di mana si Kakang
istri kayak gini, nih? Hehehehe…
Ayu, yang tadinya galau
memilih Cakra dan Salman, finally menetapkan pilihan. Saka, si pilihan Ibunya.
Restu Ibu memang nomor satu, yah. Sama seperti restu Ibu Itje buat pernikahan
si Saka ini.
Saya suka perjalanan
interaksi Ayu dan Saka, dari mulai kenalan, galau-galauan, bimbang, sampai
akhirnya Saka bikin gemes dengan melamar Ayu. Ayu juga kelihatan cinta sama
Saka, sejak Ibu Itje ngintip-ngintip buku resepnya itu, hehehehe.
Saya suka bagaimana
kisah ini ditutup dengan manis.
Ketika mereka sarapan
lontong sayur buatan Ayu (yang udah seenak buatan Mamah), lempar-lempar cium
antara Kakang & Rissa, bisik-bisik mesra si calon pengantin baru, juga
anak-anak yang berebutan ingin duduk di sebelah Nininya.
Ah, Bapak pasti bisa
melihatnya dari Surga. Betapa keluarga kecilnya sudah bertambah besar, dan
bertambah penuh cinta pula.
Dan saya suka (pakai banget)
halaman akhir buku ini, bagaimana Bapak dan Mamah mengira video sudah diakhiri
padahal belum. Bukan tanpa kebetulan, itu adalah rekaman terakhir Bapak,
sebelum akhirnya dipanggil Tuhan, dengan sedang memeluk istri dan anak-anaknya.
Gimana gue ga mrebes mili coba!
Pada setiap buku yang dibaca, ada pengalaman dan kesan setelahnya.
Pelajaran di buku ini
banyak banget.
Mulai dari ‘kesuksesan
itu bukan dilihat dari income, tapi dari lapangan kerja yang dihasilkan’,
Jangan jadi beban
anak-anak. Dulu waktu kecil, mereka ga repotin kita, sekarang pun kita udah tua
jangan repotin mereka. Sumpah ini ndalem banget! JLEB JLEB JLEB!
Soal IPK setuju banget.
Memang bukan satu-satunya yang dilihat saat nyari kerja, tapi IPK itu bisa jadi
alat pertama yang menggugurkan kalian saat first screening.
Kepercayaan diri kita
itu bukan dari barang-barang yang kita pakai, atau kita miliki. Kepercayaan
diri kita itu asalnya dari dalam diri sendiri.
Dan banyak ajaran-ajaran lain dari Bapak, Mamah, serta Kakang dan Saka, yang dikemas apik.
Seperti karya Kang
Adhit yang selalu bisa bikin saya geleng-geleng takjub, this Sundaan book
lagi-lagi bikin saya geleng-geleng. Saya bukan orang Sunda, saya juga ga pernah tinggal di Bandung. Tapi saya selalu suka denger orang ngomong Sunda:)
Nuhun Kang Adhit buat pelajarannya di buku
ini, ngingetin akan almarhum Bapak dengan segala kejenakaan dan cintanya yang
begitu besar buat saya dan keluarga.
Dan ga sabar nonton
filmnya, pasti geulis kayak Teh Rissa :)
Kalau saya boleh kasih bintang, saya kasih semua bintang yang saya punya buat buku ini :)