Dita menghela napas
lega. Akhirnya kelar juga kerjaan yang bikin mumet. Setelah hampir seminggu
berkutat dengan bacaan dan data, finally ia
bisa menyelesaikan hutang empat artikel untuk majalah tempatnya bekerja. Dua
artikel liputan konser dan dua hasil wawancara narasumber.
Lagu di ipodnya berhenti. Dita meregangkan tubuhnya, ke kanan dan ke kiri.
Lagu di ipodnya berhenti. Dita meregangkan tubuhnya, ke kanan dan ke kiri.
“Gue sendirian.”
Dita menoleh mendengar suara berat itu. Ternyata
Bapak di belakangnya sedang menelpon.
“CafĂ© Jakarta.”
“…..”
“Ga ada. Cuma ada satu cewek, lagi sibuk main lappie,
sambil pake earphone. Ga penting lah,
masih kecil.”
Hm… apa itu maksudnya aku? Dita melihat pakaian yang
dikenakannya. Mungkin kaos gombrong, celana jins dan sneakersnya yang
membuatnya kelihatan masih seperti anak sekolah, atau minimal mahasiswa.
“…..”
“Okay….
Barangnya udah di gue sekarang, mau lo ambil kapan?”
Dita mematikan ipodnya. Tapi entah kenapa, ia
membiarkan earphonenya masih menempel
di telinga. Barang apa maksudnya?
“Jangan dikirim, bro,
nanti ketauan. Kalau ketangkap, repot.”
Bro?
Artinya Bapak ini sedang bicara dengan seorang cowok. Siapa cowok itu? Siapa
mereka? Apa yang sedang mereka bicarakan? Barang apa yang dimaksud, sehingga
mereka bisa ditangkap jika ketauan?
“Iya, pake nama samaran. Nama kita ga boleh ada yang
keluar pokoknya.”
“…..”
“Yoi, lo tenang aja. Pokoknya begitu gue terima
uangnya, barang udah jadi punya lo.”
Barang apa yang dimaksud?
Dita mengambil cermin kecil di tasnya. Lalu pelan
sekali, diarahkannya cermin itu sedemikian rupa, sehingga ia bisa melihat wajah
orang yang duduk tepat di belakangnya. Karena orang itu duduk membelakanginya,
ia tak bisa melihat wajahnya. Dari belakang, orang itu nampak lumayan rapih,
berambut pendek, dan berdasi! Hm….
“Siang ini gue rapat di Gedung biasa.”
“…..”
“Yeah, you know.
Berkumpul dengan orang-orang itu.”
“…..”
“Ga bisa, gue harus hadir, minimal satu-dua jam.
Setor muka dan absen aja kok, habis itu bisa cabut lagi. Yang penting ada
paraf, biar transferan tiap bulan lancar. Kalau ga, repot gue nanti.”
Dita mulai sibuk menerka. Apa Bapak ini, anggota suatu
perkumpulan rahasia? Agen pemerintah? Atau apa? Naluri wartawannya muncul. Ia pura-pura mengetik di
laptopnya dengan serius, sambil sesekali berdendang, seakan mengikuti irama
musik di ipodnya, padahal ipod itu sudah mati dari tadi.
“Bulan ini lancar. Makanya bisa stock tuh barang.”
“…..”
“Banyak. Tapi ya siapa cepat dia dapat. Makanya lo
buruan transfer.”
Kening Dita berkerut. Sepertinya….barang yang dijual
Bapak ini, bukan barang ‘seram’. Barang ‘seram’ biasanya tidak dijual massal seperti
ini.
“Yah, lumayan. Kata orang, siklusnya memang begitu.
Habis-habisan di awal buat kampanye. Syukurlah kepilih. Nah lima tahun ini
saatnya ngumpulin uang buat ngelunasin pinjaman biaya kampanye kemarin, skalian
ngumpulin modal buat usaha. Habis kelar lima tahun ini, rasanya gue ga bakal
kepilih lagi. Lah wong rapat aja jarang hadir, hahaha…”
Bapak itu tertawa menggelegar. Sepertinya dia lupa
kalau topik yang dibicarakannya itu sensitif.
“Makanya nih bisnis harus jalan….”
“Makanya nih bisnis harus jalan….”
Dita mulai paham.
“Lah gaji bulanan kan udah ketauan jumlahnya, yah habis sama bini lah. Kalau bisnis ini buat mbayarin icip-icip sama yang manis-manis, hahaha…”
“Lah gaji bulanan kan udah ketauan jumlahnya, yah habis sama bini lah. Kalau bisnis ini buat mbayarin icip-icip sama yang manis-manis, hahaha…”
Dita mengepalkan tangannya gemas. Jelas sudah
semuanya. Nampaknya Bapak ini adalah salah seorang anggota D*R. Pejabat pemerintahan,
yang seharusnya rapat di gedung M*R/D*R, karena itu dia memakai jas dan dasi.
Ia ingin setor muka dan setelah itu bisa pergi, seperti yang tertangkap
dilakukan “Bapak-Bapak terhormat” yang memakai jas dan dasi yang lain? Malah
ada yang kepergok nonton video pada saat meeting? Atau ketiduran ketika
mendengar pidato Presiden? Jadi Bapak ini salah satu dari dewan yang terhormat
itu? Lantas, barang apa yang dijualnya?
Dita berpikir sejenak, menimbang apa yang harus
dilakukannya. Kalau di film-film, ia akan berdiri, mengambil segelas air, lalu
menuangkannya ke atas kepala si Bapak bersuara berat itu. Kalau perlu, ingin ditariknya dasi Bapak itu hingga putus. Tapi kali ini, Dita tak sudi. Ia wartawan berkelas. Orang kelas teri seperti Bapak
itu, tak bisa ditindaki kelas teri juga. Akhirnya Dita memutuskan untuk
memotret Bapak itu dari jauh. Memang hanya sekenanya, tapi tak apa.
Dita membuka file baru di laptopnya, lalu mulai
mengetik. Peduli setan dengan barang apa yang dijual orang itu. Sepertinya, editornya akan mendapat tambahan satu artikel baru dari
Dita. Tentang “kelakuan anggota dewan terhormat di jam kerja.”