"Tulisan ini untuk ikut kompetisi @_PlotPoint: buku Catatan si Anak Magang Film "Cinta Dalam Kardus" yang tayang di bioskop mulai 13 Juni 2013."
Kardus Merah Kenangan
Chacha mengamati
isi kardus itu dalam diam. Diraihnya boneka beruang putih kecil berkaus merah
bertuliskan MIT. Massachusetts Institute
of Technology. Tempat Rommy menuntut ilmu dan meraih bachelor degreenya. Tempat Rommy tinggal selama empat tahun, dan
selama itu pula mereka berhubungan jarak jauh. Sebelum Rommy melanjutkan S2 ke Inggris.
Dan setelah itu… hilang lenyap entah kemana.
Tiga
tahun menunggu Rommy, mengharapkan kabarnya, mencari beritanya, menyebut
namanya dalam doa, tetap tanpa hasil. Rommy seperti hilang ditelan bumi. Tanpa
kabar berita. Hingga akhirnya Chacha memutuskan untuk melangkah. Melanjutkan
hidupnya. Menjalani hari-harinya.
Dipeluknya
boneka itu. Dulu, boneka ini selalu ada di kamar Chacha. Di meja tulisnya,
tepat di samping meja computernya.
Boneka ini menemaninya selama bertahun-tahun, menjadi saksi bisu saat Chacha menangis,
merindukan Rommy setiap malam. Dan ini… Chacha mengambil bunga mawar plastik di
dalam kardus. Hadiah dari Rommy saat Chacha diwisuda. Mug kartun, pemberian
Rommy ketika Chacha berhasil mendapatkan pekerjaan pertamanya. Lalu miniatur
pesawat terbang kesukaan Rommy. Rommy memang penggemar berat pesawat.
‘Setiap
kali kamu kangen aku, ingat ada benda ini yang akan membawamu ketemu aku,’ begitu
dulu katanya pada Chacha.
Ada
juga beberapa frame foto, yang tadinya berisikan foto-foto mereka, tapi
akhirnya hanya tinggal framenya, karena Chacha sudah merobek dan melenyapkan
foto-foto di dalamnya.
“Cha?
Lagi ngapain?”
Chacha
tersentak. Terlalu kaget untuk menoleh.
“Kamu
lagi beres-beres, ya?”
Chacha
mengangguk sambil berusaha menyusut air matanya. Riyo tak boleh tau kalau…
“Sampai
keringetan gini,” Riyo membelai pipi Chacha. “Jangan dipaksa ya, Cha. Kalau
capek, istirahat dulu.”
Chacha
hampir menangis lagi mendengar jawaban Riyo. Suaminya sangat memperhatikannya. Sementara
dia, malah menangisi barang-barang pemberian mantannya. Mantan yang tak jelas
di mana rimbanya. Ironisnya.
“Masih
ada tiga bulan sebelum anak kita lahir, Cha. Kalaupun gudang ini nantinya ga
bisa kosong tepat waktu, baby masih
bisa tidur di kamar kita, kan?”
Chacha
mengangguk, tanpa sanggup berkata-kata.
“Barang-barang
bekas ini, disumbangkan ke Panti aja, Cha.”
“Apa?”
Chacha terperangah. Panti Asuhan?
“Titip
ke Bu Yati, beliau kan koordinator sumbangan ke Panti di Gereja kita.”
“Oh. Iya.” Chacha mengangguk kecil. Menurut saja
ketika Riyo menutup kardus dan menyelotipnya. Bahkan warna kardusnya pun merah,
seperti hatinya yang pernah berdarah. Tapi saat ini, anggap saja merah itu
melambangkan berani. Berani melupakan, dan berani melangkah.
Akhirnya barang-barang itu pergi juga, batin Chacha. Sebagian
hatiku, sebagian kecil saja, mungkin masih ada di situ. Separuh jiwaku, mungkin
juga masih tertera nama itu. Tapi seperti apapun masa lalumu itu ada, namanya
adalah “masa lalu”. Peristiwa yang sudah lalu. Sementara aku? Setelah
bertahun-tahun menangisimu, mencarimu, berharap menemukanmu, mungkin harus
berhenti. Sesekali merindukanmu, sudah cukup. Seperti hari ini. Selanjutnya,
semoga tak pernah lagi.