Liuk tubuhnya menggeliat. Senada
dengan cengkoknya, mempesona siapapun yang melihat. Nur memang penyanyi dangdut
nomor satu di desa. Sedari tadi, tepuk tangan tak henti membahana.
Nur tersentak
mendapati seorang Bapak berbaju batik muncul di belakang panggung. Seingatnya,
Bapak ini tadi duduk di barisan terdepan. Perut buncitnya menunjukkan tingkat
kemakmuran. Sungguh, Nur benci melihat tatapan melecehkan di mata itu. Senyum
remehnya. Kau tak pantas memakai batik, Pak. Apalagi jabatan yang tengah kau sandang.
Entah kenapa rakyat memilih untuk kau wakilkan.
“Hai…
bagus sekali suaramu.” Dicoleknya lengan Nur.
Nur
menahan diri untuk tak lari. Teringat pesan Bapak Kepala Desa. Orang ini harus
diperlakukan sopan. Demi turunnya dana pembangunan sekolah di desa, syukurlah
kalau Yang Mulia tersebut tergerak hatinya membangun puskesmas juga di kampung
mereka. Sulitnya berlaku sopan pada orang yang tak sopan!
“Siapa
namamu?”
Nur
masih tak menjawab. Hanya tersenyum kikuk.
“Mau
tak orbitkan jadi penyanyi? Cengkokmu hebat.” Mata jalang itu beralih ke dada
Nur. Lalu ke kaki Nur. “Luar biasa.”
Hih!
Serasa ditelanjangi. Aku penyanyi, tak minat jadi siri! Tolong, jangan
rendahkan aku seperti ini!
“Sudah
punya suami?”
Nur
menggeleng. Suami tak ada. Tapi anak ada
dua, yang ditinggal lari ibunya.
“Siapa
sih namamu?” Bapak itu mengelus lengan Nur.
“Nur…”
akhirnya ia bersuara. Berharap jawabnya cukup.
“Nur
siapa? Nurhayati?”
“Nur…”
Nur tercekat. Dada nya semakin terasa sesak.
“Nurmala?”
Nur tak tahan
lagi. “Nurman!” tukasnya, sambil mengambil saputangan yang menyumpal dada nya.
Ah!
Sudah, bongkar sajalah! Sebelum tangan si batik semakin rajin menjamah!
Jumlah kata: 241