[Lomba Fiksi Fantasi 2012] THE GUARDIANS
Keyword : pasar malam, salju, polkadot, rasi, cerpelai
Samantha menuangkan isi tas nya ke atas meja. “Oh. My. God.” gumam nya.
“Kenapa, Sam? Kok ngedumel?” Fe melirik Samantha dari balik laptop.
“Pensil gue. Lo liat ga, Fe?”
“Pensil?”
“Iya… yang putih polkadot, di cari-cari ga ada. Gue mo presentasi bentar lagi,” Samantha gusar.
“Nih, lo pake aja pensil gue aja,” Fe melemparkan pensil biru nya.
“Masalahnya pensil gue itu…” Glek. Samantha menelan ludah. Hampir keceplosan.
“Sam, sudah bisa mulai? Pak Budiman sudah datang,” panggil Arya dari ruangan sebelah.
Samantha melempar pandang sekali lagi ke meja nya, berharap si putih bola-bola itu muncul. Mungkin dari bawah meja. Atau dari balik kertas. Atau…sudahlah. Kali ini dia harus berjuang sendiri.
* * *
Tiga tahun lalu, Samantha masih kuliah di belahan dunia sebelah barat… Saat itu musim dingin. Bongkahan putih turun perlahan membentuk serpihan beku. Jalan-jalan tertutup salju. Samantha berjalan pelan-pelan. Hatinya muram. Papa-Mama tak jadi datang untuk merayakan Natal bersama. Perusahaan tempat Ayah Samantha bekerja, tiba-tiba mendapat project besar yang harus selesai sebelum awal tahun.
Samantha menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya yang terbungkus sarung tangan. Dari sudut matanya, ia menangkap bayangan seseorang duduk di tepi jalan. Entah apa yang membuatnya menghampiri sosok itu. Mungkin karena rambutnya yang putih, terlihat begitu kontras di pakaian yang serba hitam.
‘Kasihan sekali.. hanya berpakaian tipis selapis, di cuaca sedingin ini.’ Perlahan, Samantha menepuk pundak nya.
Sosok itu berbalik. Seorang nenek tua.
“Nenek…” sapanya dalam bahasa Inggris. “Apa Nenek sendirian?”
Nenek itu tak menjawab. Sepasang mata ramahnya membuat Samantha berani bertanya lebih jauh.
“Nenek kedinginan? Saya bawa jaket cadangan… Nenek bisa pakai jaket saya,” tergopoh, Samantha mengeluarkan baju dingin dari dalam tas nya.
Nenek itu tersenyum kecil, lalu mengambil baju dingin yang disodorkan Samantha.
“Anak baik,” suara parau si Nenek terdengar. “Sedari tadi aku duduk disini, hanya kau yang peduli.”
“Nenek sedang menunggu seseorang?”
Percakapan ringan itu pun pindah ke coffee shop terdekat. Nenek bercerita, ia baru saja kehilangan kucing kesayangannya di pasar malam kemarin. Nenek berharap kucing itu akan kembali. Tak terasa, hari semakin gelap. Bintang sudah nampak. Samantha dan Nenek berjanji akan bertemu dua hari lagi.
“Saya catat nomor telpon saya, siapa tau Nenek membutuhkan,” Samantha mencari kertas dan pensil di tas nya.
“Pakai ini saja,” Nenek menyodorkan sebuah pensil lucu yang unik. Warna putih, dengan motif polkadot warna-warni.
“Lucu sekali pensilnya, Nek!” Samantha menuliskan nomor telponnya.
“Buat kamu saja, Nak,” kata Nenek, melihat Samantha begitu menyukai pensil itu.
“Untuk saya?”
“Ambilah. Pensil itu benda ajaib. Apapun yang kamu lakukan, pasti berhasil jika menggunakan pensil itu. Genggam saja, dan ia akan bekerja sendiri.”
“Oh? Maksud Nenek?”
“Apapun. Apa saja, Nak. Pasti berhasil.” Nenek bangkit berdiri.
“Selamat Natal, anak baik. Sampai berjumpa lagi.” Lalu Nenek berbalik meninggalkan Samantha, yang masih tertegun memandangi pensil di tangannya.
* * *
Super penasaran, Samantha langsung mencoba pensil itu di apartment nya. Ada tugas seni yang harus dikumpulkan dalam waktu dekat. Samantha memegang pensil itu, meletakkannya di atas kertas. Ajaib! Pensil itu bekerja sendiri! Membuat coretan-coretan tak tentu arah, tapi menghasilkan sebuah gambar yang bagus sekali!
Dua hari kemudian, di tempat yang sama, Samantha datang dengan semangat. Tak sabar ingin mendengar cerita Nenek tentang pensil ajaib itu. Tapi Nenek tak pernah muncul. Juga tak pernah menelponnya.
Samantha makin merasakan keajaiban si pensil. Dari mulai nilai ujian yang hampir mendekati sempurna, karya nya dimuat di berbagai media, hingga paper dan tugas akhir yang selesai jauh lebih cepat dari kawan-kawannya. Tangannya begitu dingin menorehkan berbagai karya. Ini semua berkat si pensil ajaib! Samantha hanya perlu memegang pensil itu, memulai sebuah coretan kecil di atas kertas, selanjutnya pensil itu bekerja sendiri, membentuk gambar atau tulisan, sesuai dengan kebutuhannya. Keberhasilan ini membuat Samantha merasa sangat percaya diri.
Hingga selesai sekolah dan kembali ke tanah air, pensil polkadot itu masih setia menemani. Pensil itu sudah menjadi pendek karena terlalu sering digunakan. Beberapa saat terakhir, Samantha memutuskan tak menggunakan pensil itu lagi, tapi berharap keajaibannya masih bekerja, dengan cara meletakkan pensil itu di dekatnya, selagi ia bekerja.
Untunglah berhasil. Samantha lolos tes masuk pekerjaan di sebuah agensi iklan ternama. Ia pun berhasil memperoleh gelar sebagai karyawan terbaik dengan ide-ide paling cemerlang dan kreatif. Semua berkat pensil ajaib.
* * *
“Ehm… jadi begini, Pak… konsep kali ini… ehm..” Samantha terbatuk kecil. Ah, kenapa jadi begini? Ruangan sedemikian hening, hingga detik pun punya suara.
“Jadi begini, Pak Budiman. Berdasarkan brief yang diinform oleh Bu Shannaz kepada kami….” Aries tiba-tiba berdiri dan mengambil alih. Samantha menarik napas lega, lalu pelan-pelan duduk di kursi nya.
Presentasi siang itu berlangsung sukses. Untung ada Arya yang kebetulan satu tim dengan Samantha.
“Ya, thanks ya. Kalau ga ada lo…” Samantha menggelengkan kepala nya.
“No prob,” Arya tersenyum. “Lo kenapa, Sam? Sakit?”
“Ah enggak… gue cuma.. masuk angin. Kurang tidur...”
“Mikirin kerjaan? Atau… mikirin gue?”
Wajah Samantha memerah. Crap!
“Sama, gue juga suka mikirin lo, hahaha…” Arya tertawa ringan.
Samantha tersenyum diam-diam. Lamunnya berkelana, tapi kali ini tak memikirkan si pensil.
* * *
Kalau tak ingat sedang ada di cafĂ©, Samantha pasti menangis. “Ide, ide, where are you? Ide, ide, datanglah..” gumamnya. Sudah satu jam laptop terbuka. Dua cangkir hazelnut cappuccino. Tapi tak ada satu pun ide muncul. Helow deadline hari Senin, how are you?
Semua gara-gara si pensil. Sudah dicari di seisi kamar, tak ada. Di laci meja, di tas kerja, bahkan di kamar mandi. Mbok Min sampai pusing dibuatnya.
“Mencari apa, Nak?”
Samantha hampir pingsan melihat sosok tua di hadapannya. Si Nenek! Nenek yang memberinya pensil polkadot ajaib!
“Ne..Nenek?”
“Iya, Nak.”
“Ini pasti salah lihat. Pasti aku kelamaan melamun.” Samantha mengerjap, tapi Nenek masih ada.
“Mencari ini?” Nenek menyodorkan sebuah pensil.
“Nenek.. Pensilku hilang! Pensil ajaib yang dari Nenek, hilang!” Samantha panik. “Aku ga bisa kerja, Nek. Tanpa pensil itu, aku ga bisa apa-apa.”
“Tapi waktumu sudah habis, Nak.”
“Waktu apa, Nek?”
“Setiap orang hanya punya waktu tiga tahun untuk kupinjamkan pensil ini.”
“Kenapa?”
“Waktu yang cukup untuk dapat membuat seseorang menyadari potensi dirinya.”
“Nek, please! Aku janji akan menjaganya baik-baik, tak akan hilang lagi!”
Nenek menggeleng. “Kamu sudah menjaganya baik-baik, Nak. Pensil ini aku ambil di kamarmu.”
“Hah? Kapan Nenek ke rumahku?’
“Aku menyebrang dari mimpi mu, Nak. Selalu begitu, setiap kali aku ingin mengambil kembali pensil ini.”
“Nek, aku tak bisa apa-apa tanpa pensil itu,” Samantha kembali memohon. Tapi Nenek tetap menggeleng.
“Kau lihat orang di dekat pintu itu, Nak?”
Samantha mengikuti arah pandang Nenek. Seorang pria bertopi sedang termenung. Tatap mata nya terasa muram.
“Hidupnya sedang tak baik.”
Samantha tersentak. “Darimana Nenek tau? Apa Nenek juga tau, seperti apa hidupku waktu itu?”
Nenek tersenyum. “Kau hanya kurang yakin pada dirimu, Nak. Pensil ini hanya membantumu menemukan talenta dirimu. Setelah selesai, pensil ini harus berkelana lagi, mencari orang lain yang harus dibantu.”
“Nenek,” Samantha berujar, “Sebenarnya Nenek ini siapa?”
Nenek tersenyum lagi. “Bukan siapa-siapa, hanya Nenek tua yang meminjamkan pensilnya.”
“Tapi, Nek? Waktu itu..Nenek berbicara padaku dalam bahasa Inggris, sekarang dalam bahasa Indonesia. Nenek ini darimana?”
Nenek tak menjawab. “Aku harus pergi, Nak. Lanjutkan hidupmu. Tidak tau ada apa di depan sana, kau hanya harus yakin pada dirimu.”
Samantha ingin berteriak, tapi lidahnya kelu. Dua detik kemudian, Nenek tak tampak lagi. Juga pria bertopi yang duduk di dekat pintu itu.
Hari yang sangat aneh.
* * *
Presentasi Samantha pagi itu sukses. Client mereka tampak terkesan.
“Pasti tidur cukup ya, kemarin?” tanya Arya sambil mengedipkan matanya.
Samantha tertawa kecil. “Lumayan,” katanya sambil meneguk kopi.
“Gue punya hadiah buat lo.”
“Wow.. Karena presentasi barusan sukses?”
“Hehe… Bukan. Gue yakin lo pasti suka.”
Samantha tersedak melihat benda kecil yang diletakkan Arya di meja nya.
“Lo dapat darimana?”
Arya membetulkan letak kacamata nya.
“Ga yakin lo bakal percaya. Gue…dapat benda ini, dari seorang nenek-nenek.”
Samantha merasa tubuhnya lemas. Apakah Arya adalah orang yang harus dibantu Nenek, untuk menemukan potensi dirinya? Padahal Arya orang paling smart, paling kreatif, yang pernah ia kenal.
“Gue cuma bantuin si nenek nyebrang jalan, terus tau-tau dia kasih gue pensil itu.”
“Katanya mungkin bisa gue kasih ke orang yang butuh.”
Bulu kuduk Samantha berdiri.
“Pensil lo yang hilang kaya gini, kan? Gue ingat, lo pernah cerita kalo itu pensil ajaib. Semacam barang keberuntungan lo, ya?”
Ini perasaan Samantha saja, atau Arya memang sangat memperhatikannya?
“Yah… tapi Nenek itu kan kasih buat lo.”
“Gue… punya alat keberuntungan yang lain.”
“Maksud lo?”
Arya merendahkan suaranya.
“Sekitar lima tahun lalu, ada kakek-kakek kasih gue.. sesuatu yang mirip ini.” Arya mengeluarkan sesuatu dari saku nya. Kalung berwarna perak dengan liontin bergambar rasi bintang.
“Katanya kalo gue pake kalung itu, sifat pemarah gue bakal hilang.”
“Aaahhh? Serius lo?”
“Beneran.”
“Dan lo percaya?”
“Hmmm.. Gue dulu sangat pemarah, keras luar biasa. Anehnya, sejak ada kalung ini….” Arya menggeleng. “Jauh lebih berkurang. Semua orang ngerasain perubahannya, bukan cuma gue.”
“Tadi lo bilang… Kakek itu kasih sesuatu yang mirip itu? Artinya bukan itu?”
“Kalung itu dah diambil lagi oleh si Kakek.”
“Kenapa?”
“Katanya lima tahun dah cukup buat ngilangin sifat pemarah gue. Tanpa itu pun, gue bisa jadi orang yang tidak pemarah. Tapi…karena parno, gue cari kalung yang mirip sama kalung itu. Ya inilah,” Arya menunjuk kalung nya tadi.
“Gimana cara si Kakek ngambil kalung itu dari lo?”
“Dia muncul di mimpi gue, bilang hal yang tadi. Tau-tau pas gue bangun, tuh kalung hilang aja.”
“Lo pernah cerita soal ini ke orang lain?”
Arya menggeleng. “Gue ga yakin orang percaya.”
“Kok lo cerita ke gue?”
“Somehow.. gue yakin lo bakal percaya.”
“Emangnya lo percaya dengan semua hal itu?”
Arya mengangkat bahunya. “Percaya. Itu malaikat pelindung. Menjelma jadi sosok Kakek.”
Samantha tertegun.
* * *
Di suatu tempat di atas sana…
“Siapa berikutnya?” Ibu Peri memandang bola Kristal. Peri Percaya Diri, Peri Baik Hati, Peri Kelembutan, Peri Rajin, dan beberapa peri lain, duduk mengelilingi nya, di hamparan awan.
“Sepertinya saat ini dunia lebih membutuhkan orang-orang jujur. Sudah terlalu banyak orang percaya diri.”
“Jadi aku yang bertugas, ya?” Peri Kejujuran menggerakan sayapnya dengan semangat. “Siapa yang harus aku bantu?”
“Orang ini….” Ibu Peri menunjuk bola kristal. Ada bayangan seorang pria berdasi. “Tadinya baik dan jujur. Dulu janjinya ingin memperhatikan kepentingan rakyat, tapi setelah terpilih jadi wakil rakyat… boro-boro. Ckckck..”
Peri Kejujuran mengangguk tanda mengerti. Di tangannya ada gantungan kunci berbentuk cerpelai.
* * *